Bukan Puasa Kendang

Bukan Puasa Kendang


Angin sepoi-sepoi sore itu membawa kesegaran yang telah lama dinanti. Setelah hampir seminggu langit menahan diri, akhirnya awan mendung mulai berkumpul, menjanjikan hujan yang akan turun. Di bawah pohon beringin yang rindang di depan masjid Barokah, Pakde Pri berdiri, matanya menatap langit yang mulai menghitam. “Semoga malam ini bisa turun hujan,” gumamnya, sebuah harapan yang terucap lembut.

Di kejauhan, remaja masjid tampak sibuk dengan sapu dan pengki di tangan, membersihkan halaman masjid yang luas. Barru, yang sering kali menjadi komandan tak resmi dalam kegiatan bersih-bersih, terlihat memberi instruksi dengan suara yang cukup keras. “Oiii tuh masih banyak sampah berserakan, jangan ada yang terlewat!” serunya.

Pakde Pri hanya tersenyum melihat semangat mereka. “Hmm, jangan teriak-teriak Ru, mendekat aja ke mereka. Lalu baru ngomong. Lebih beretika,” nasihatnya dengan nada lembut.

Tak lama, beberapa remaja lain bergabung di bawah naungan pohon beringin, duduk mengelilingi Pakde Pri. Mereka adalah Naufal, Rizal, Halim, dan beberapa remaja lain yang ingin mendengarkan wejangan Pakde Pri tentang Ramadan.

“Sini, sini, Pakde mau ngomong dikit tentang puasa Ramadan kita hari ini,” ujar Pakde Pri. “Pakde mau ngingetin kalian, agar hati-hati dengan puasa. Jangan sampai puasa kalian sia-sia karena lalai pada larangan-larangan bagi orang yang sedang berpuasa,” lanjutnya.

Naufal, dengan rasa ingin tahu yang besar, bertanya, “Contohnya apa tu Pakde?”

Pakde Pri menarik napas, memilih kata-kata dengan bijak. “Antara lain dan sering lalai dalam menjaga puasa adalah bicara dusta. Saking biasa hobi ngobrol, ngalor-ngidul ngomong gak karuan, lalu terjatuh dalam ucapan bohong. Ini bahaya,” ucapnya, mengingatkan mereka tentang pentingnya menjaga lisan selama berpuasa.

Kemudian, Pakde Pri menambahkan, “Dan satu lagi, jangan sampai puasa kalian hanya menjadi rutinitas tanpa makna. Seperti puasa kendang, yang hanya terasa di awal dan akhir saja. Puasa itu harusnya mengajarkan kita untuk menjadi lebih baik setiap harinya, bukan hanya di bulan Ramadan.”

Obrolan berlanjut dengan diskusi tentang berbagai aspek kehidupan yang bisa dipengaruhi oleh ibadah puasa, dari kesabaran hingga empati terhadap sesama. Mereka berbicara tentang bagaimana puasa dapat menjadi sarana untuk memperbaiki diri, bukan hanya secara spiritual, tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari.

Sebelum mereka bubar untuk berbuka puasa, Pakde Pri memberikan pesan terakhir, “Oh ya, titip pesan kepada teman-teman lainnya, selesaikan puasa Ramadan dari awal hingga akhir. Jangan seperti puasa kendang, hanya puasa di hari pertama dan hari akhir!”

Dengan pesan itu, mereka pun beranjak, membawa pelajaran berharga dari Pakde Pri. Mereka berjalan pulang dengan hati yang lebih ringan, siap untuk berbuka dan menyambut hari-hari Ramadan yang masih akan datang dengan semangat yang baru.

Post a Comment

Previous Post Next Post