Ilmu Sejati Menumbuhkan Tawadhu’
“Ilmu padi, makin berisi makin merunduk.” Pepatah ini bukan sekadar ungkapan budaya, tetapi merupakan cerminan karakter sejati dari orang yang benar-benar berilmu. Semakin dalam pengetahuan seseorang, seharusnya semakin lembutlah sikapnya, semakin sederhana perilakunya, dan semakin terasa kedekatannya kepada Allah.
Namun sayang, di zaman yang serba instan ini, ilmu seringkali dijadikan alat untuk menunjukkan keunggulan, bukan sebagai sarana memperbaiki diri. Padahal, belajar agama bukan tentang siapa yang lebih tahu, melainkan siapa yang lebih takut kepada Allah.
Ilmu Adalah Jalan Menuju Surga
Ilmu yang benar adalah cahaya yang menerangi jalan menuju surga. Ia bukan sekadar informasi yang memenuhi kepala, tetapi energi yang menggerakkan hati untuk berubah. Siapa yang berjalan menuntut ilmu, maka ia sesungguhnya sedang menapaki jalan ke arah cahaya dan keridhaan Ilahi. Bahkan setiap langkah seorang penuntut ilmu adalah jihad yang diberkahi.
Bukan hanya dirinya yang mendapatkan keberkahan, tetapi makhluk di langit dan bumi pun mendoakan kebaikan bagi mereka yang menuntut ilmu dengan ikhlas dan tawadhu’.
Niat: Pondasi Setiap Langkah
Niat adalah perkara yang tak terlihat oleh manusia, tapi sangat menentukan nilai amal di sisi Allah. Kita bisa duduk dalam majelis ilmu yang sama, membaca kitab yang sama, menghafal ayat yang sama, namun mendapatkan hasil yang sangat berbeda, tergantung pada apa yang ada di dalam hati kita.
Jika niatnya murni karena Allah, maka ilmu itu akan menjadi tangga menuju surga. Namun jika niatnya untuk mencari pengakuan, pujian, atau keuntungan duniawi, maka ilmu itu justru akan menjadi hijab antara dirinya dan Allah. Maka berhati-hatilah dalam menata niat, karena ia adalah awal dari segalanya.
Adab Sebelum Ilmu
Para ulama terdahulu selalu menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Bahkan ada yang menghabiskan bertahun-tahun hanya untuk mempelajari adab sebelum mempelajari fikih dan hadits. Mengapa? Karena adab adalah kemasan dari ilmu. Tanpa adab, ilmu menjadi kasar, menusuk, dan menyakitkan. Namun jika dibalut dengan adab, ilmu menjadi cahaya yang lembut, menyentuh, dan menumbuhkan.
Beberapa adab penting dalam menuntut ilmu antara lain:
- Rasa malu yang tinggi, bukan untuk menghindari belajar, tapi agar tidak merasa cukup dan senantiasa merasa butuh.
- Merendahkan diri di hadapan guru, tidak menyela, tidak menyombongkan pemahaman pribadi.
- Tidak menyembunyikan ilmu, ketika diminta untuk menjelaskan atau membantu orang lain, sampaikanlah dengan niat memberi manfaat, bukan merasa lebih tahu.
- Berbicara sesuai kadar kemampuan, tidak memaksakan diri menjawab sesuatu yang belum dipahami betul.
Adab menjadikan ilmu kita bermanfaat dan menumbuhkan cinta di hati sesama.
Bahaya Menuntut Ilmu Demi Dunia
Ilmu yang tidak diarahkan kepada Allah adalah ilmu yang tidak memberi manfaat. Ia hanya menjadi beban tambahan di hari kiamat. Bahkan dalam beberapa peringatan Rasul, disebutkan bahwa orang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi tidak akan mencium bau surga. Betapa meruginya orang yang belajar tapi kehilangan makna.
Jika ilmu yang kita miliki menjauhkan kita dari Allah, menjadikan kita merasa lebih tinggi, lebih pintar, lebih berhak berbicara—maka sesungguhnya ilmu itu sedang membawa kita ke arah yang salah. Karena ilmu seharusnya membuat hati semakin lembut, bukan semakin keras.
Ulama Adalah Pewaris Para Nabi
Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan ilmu. Maka ulama adalah pewaris yang sah dari warisan kenabian. Mereka bukan sekadar penghafal dalil, tetapi penunjuk jalan. Siapa yang belajar ilmu dengan benar, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain, berarti ia sedang memegang tanggung jawab besar sebagai penerus perjuangan Rasulullah.
Ilmu adalah amanah. Dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Maka penting untuk menjaga keikhlasan, karena ilmu adalah cahaya yang hanya akan menetap di hati yang bersih.
Menjadi Penuntut Ilmu yang Diridhai
Bagaimana menjadi penuntut ilmu yang diberkahi? Berikut beberapa prinsip yang bisa kita pegang:
- Perbaiki niat setiap hari. Karena niat itu mudah berubah, perbaharuilah niat setiap kali membuka kitab atau menghadiri majelis.
- Amalkan apa yang telah dipelajari, meski hanya sedikit. Ilmu tanpa amal akan menjadi hujjah yang memberatkan.
- Jaga adab, baik kepada guru, teman sejawat, maupun kepada ilmu itu sendiri.
- Jauhi perdebatan yang sia-sia, karena banyak orang akhirnya jauh dari ilmu karena merasa terkalahkan dalam argumen, bukan karena kebenaran.
- Sebarkan ilmu dengan kelembutan, bukan dengan arogansi. Ingat, ilmu adalah obat bagi hati yang sakit, bukan palu untuk menghancurkan.
Doa: Penjaga Keikhlasan
Rasulullah mengajarkan doa yang seharusnya selalu kita lantunkan:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak didengar.”
Doa ini adalah bentuk introspeksi. Bahwa kita bisa saja berilmu, tapi tidak mendapat manfaat. Kita bisa saja belajar, tapi tetap merasa kosong. Kita bisa saja fasih berkata-kata, tapi tidak memberi ketenangan. Maka mintalah kepada Allah agar ilmu yang kita pelajari benar-benar menuntun kita kepada-Nya.
Ilmu, Tawadhu’, dan Jalan Menuju Surga
Ilmu sejati adalah yang membuat kita menangis, bukan yang membuat kita membanggakan diri. Ilmu sejati adalah yang mendorong kita untuk memperbaiki ibadah, bukan memperbanyak debat. Ilmu sejati adalah yang menjadikan kita semakin sadar akan kekurangan diri, bukan semakin lancang menilai orang lain.
Marilah kita menjadi penuntut ilmu yang bukan hanya pandai, tetapi juga tawadhu’, bukan hanya berwawasan, tetapi juga berhati lembut. Semoga ilmu yang kita pelajari menjadi cahaya dalam hidup kita, dan menjadi saksi di hari ketika segala amal ditimbang. Aamiin.