Mengarungi perjalanan hidup, terutama bagi mereka yang memikul amanah sebagai pemimpin, tokoh masyarakat, atau orang yang tampil di tengah khalayak, akan senantiasa hadir tantangan berupa harapan, kritik, dan penilaian dari berbagai arah. Seberapapun bijaknya seseorang bertindak, tetap akan ada pihak yang tidak sepakat, tidak sejalan, atau bahkan menaruh kebencian terhadapnya.
Padahal, sering kali keputusan telah diambil dengan pertimbangan yang matang dan niat yang lurus. Pemimpin itu bersungguh-sungguh menimbang dampak kebijakannya agar tidak menimbulkan mudarat bagi satu pihak pun. Namun, cemoohan dan kritik tetap datang silih berganti. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Kisah Ayah, Anak, dan Seekor Keledai
Sebuah kisah masyhur mengisahkan seorang ayah dan anaknya yang bepergian dengan seekor keledai. Pada awalnya, mereka berdua menaiki keledai tersebut bersama. Ketika melewati sekumpulan orang, terdengar komentar pedas:
"Keterlaluan! Ayah dan anak ini tak berperasaan. Masa keledai kecil itu harus menanggung beban dua orang?"
Tersindir oleh komentar itu, sang ayah pun turun dan membiarkan anaknya tetap menaiki keledai. Namun belum jauh mereka berjalan, komentar lain menyusul:
"Betapa durhakanya anak itu! Dia bersenang-senang di atas keledai, sementara ayahnya yang tua renta harus berjalan!"
Mereka pun bertukar tempat: si ayah naik, si anak berjalan. Tapi tetap saja ada yang mencela:
"Ayah macam apa itu? Anaknya dibiarkan berjalan di bawah terik matahari, sedangkan dia santai naik keledai!"
Akhirnya mereka memutuskan untuk sama-sama berjalan kaki sambil menuntun keledai. Namun cemoohan tetap datang:
"Betapa bodohnya mereka! Punya keledai malah tidak dinaiki!"
Kisah ini mengandung pelajaran penting: apa pun yang kita lakukan, akan selalu ada orang yang tidak setuju, mengkritik, bahkan mencela. Tidak mungkin menyenangkan semua orang. Maka, untuk apa terlalu sibuk memikirkan penilaian manusia?
Nasihat Agung dari Imam Syafi’i
Dalam sebuah riwayat, Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah memberikan nasihat yang begitu dalam dan relevan hingga hari ini:
"Kamu tidak akan mampu membuat semua orang senang. Maka perbaikilah hubunganmu dengan Allah ﷻ. Jika hubunganmu dengan Allah sudah baik, maka tak perlu engkau pedulikan omongan manusia."
Ini adalah jawaban bagi keresahan banyak orang yang terus-menerus berusaha menyenangkan semua pihak. Fokus utama bukanlah agar semua orang menyukai kita, tetapi agar Allah ﷻ meridhai kita.
Manusia Tak Akan Pernah Puas
Bahkan para nabi dan rasul, yang maksum dan membawa kebenaran dari langit, tak luput dari penolakan. Nabi Musa ‘alaihis salam diolok-olok kaumnya, Nabi Isa ‘alaihis salam dituduh yang bukan-bukan, dan Nabi Muhammad ﷺ — manusia paling mulia — difitnah, dicemooh, bahkan diperangi oleh kerabatnya sendiri.
Jika mereka saja mendapatkan perlakuan seperti itu, bagaimana dengan kita, manusia biasa?
Fokus pada Kebenaran dan Ridha Allah
Menjadi manusia yang disukai semua orang adalah sebuah ilusi. Utopia. Yang lebih realistis dan bermakna adalah berusaha menjadi hamba Allah yang lurus niatnya, jujur ucapannya, dan amanah perbuatannya.
Bagi siapa pun, terutama yang diberi tanggung jawab kepemimpinan, hendaknya menjadikan ridha Allah sebagai poros kebijakan dan langkah. Lakukan yang terbaik, mohon petunjuk dalam doa, dan serahkan hasilnya kepada-Nya.
Saat hubungan kita dengan Allah baik, maka penilaian manusia akan terasa ringan. Cibiran tidak lagi melukai, dan pujian pun tidak membutakan. Yang ada hanyalah ketenangan hati karena tahu: aku telah berusaha dengan cara yang diridhai-Nya.
“Kembang turi lak melok melok sego wadang sisane sore. Ora perduli wong alok alok sandang pangan lak golek dewe.”