Ilmu Tinggi, Hati Rendah: Cobaan Halus Para Penuntut Ilmu

 

Belajar ilmu agama adalah ibadah panjang yang tak kenal usia. Ia bukan sekadar rutinitas menghafal dalil atau menghadiri majelis, tapi perjalanan menuju cahaya—yang dengannya seseorang bisa mengenal dirinya, sesama, dan tentu, mengenal Tuhannya. Namun, ketika ilmu bertambah dan pemahaman semakin dalam, cobaan justru datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Bukan dari luar, melainkan dari dalam: dari hati kita sendiri. Berikut tulisan ringan yang disarikan dari tausiyah H Hafiludin, salah satu guru Pondok Wali Barokah Kediri. 

Ya, cobaan orang berilmu bukan lagi sekadar urusan dunia yang membingungkan. Tapi justru ujian batin, yang lebih licin dan tersembunyi. Semakin tinggi ilmunya, seseorang bisa saja tergoda untuk merasa tinggi pula kedudukannya. Ilmu yang harusnya membuat kita makin rendah hati, malah bisa memunculkan penyakit hati: ujub, takabur, dan meremehkan orang lain.


ilmu


Bayangkan, seseorang yang tadinya bersungguh-sungguh belajar demi mencari ridha Allah, tiba-tiba merasa, “Saya paling benar.” Ia mulai berat menerima saran. Teguran dianggap hinaan. Ia merasa sudah ‘sampai’ di titik kebenaran mutlak. Ini bukan dongeng. Ini nyata dan sering terjadi—diam-diam dan tanpa alarm.

“Orang yang bertambah ilmunya, kadang-kadang dicoba dengan ilmunya sendiri,” begitu kira-kira nasihat yang disampaikan dalam sebuah nasihat agama. Karena merasa tahu lebih banyak, seseorang bisa merasa lebih baik dari yang lain. Bahkan mungkin merasa paling suci. Padahal, kalau kita mau jujur dan melihat lebih dalam, ilmu bukanlah panggung untuk merasa menang. Ia adalah cermin—yang memantulkan betapa masih banyak kekurangan dalam diri.

Kita belajar ilmu agama agar mengenal hati kita sendiri. Tapi kalau hati mulai sombong, justru itu tanda bahwa ilmu belum benar-benar meresap. Maka, penting bagi siapa pun yang sedang menapaki jalan ilmu untuk terus membersihkan niat dan menjaga hati.


Cuci hati, bukan hanya badan.

Kalau badan kotor, tinggal siram pakai air. Tambah sabun, selesai. Tapi kalau hati yang kotor? Tidak ada sabun untuk hati, kecuali doa dan kesadaran diri. “Ya Allah, bersihkanlah hatiku dari sifat ujub, takabur, dan merasa lebih baik dari orang lain.” Doa semacam ini bukan formalitas, tapi kebutuhan.

Salah satu bentuk pengobatan hati adalah dengan selalu merasa rendah diri. Melihat anak kecil misalnya. Jangan malah merasa "saya lebih pintar". Justru harus sadar, “Anak kecil ini belum ditulis dosanya. Sementara saya? Dosa sudah numpuk dari tahun ke tahun.”

Atau lihat orang yang lebih tua. Pikirkan bahwa mereka sudah salat lebih banyak, sudah berjumpa malam lailatul qadar lebih sering. Atau saat melihat orang kaya, jangan langsung suudzon. Lihat sisi baiknya—mereka bisa menyumbang masjid, pesantren, bahkan menanggung hidup orang lain. Kita? Kadang infak lima ribu saja minta kembalian.


Ilmu tanpa tawadhu, itu seperti pedang tanpa sarung.

Tajam, menyakiti, dan bisa melukai siapa pun—termasuk diri sendiri. Sebaliknya, ketika ilmu dibarengi kerendahan hati, maka manfaatnya bukan hanya dirasakan oleh diri sendiri, tapi juga orang-orang di sekitarnya.

Ilmu itu cahaya. Tapi cahaya yang tanpa keseimbangan bisa menyilaukan. Maka yuk, belajar terus… tapi jangan lupa bersih-bersih hati. Biar makin naik ilmunya, makin dalam akhlaknya.

Lebih baru Lebih lama