Kisah Lucu Abu Nawas, Hiburan dalam Kesedihan nan Penuh Hikmah

Kisah Lucu Abu Nawas, Hiburan dalam Kesedihan nan Penuh Hikmah


Apakah Anda sedang merasa sedih atau tertekan? Jika ya, maka Anda tidak sendirian. Banyak orang yang mengalami hal yang sama, terutama di masa seperti sekarang ini. Namun, jangan biarkan kesedihan itu menguasai diri Anda. Ada banyak cara untuk menghibur diri dan mengusir rasa sedih, salah satunya adalah dengan membaca cerita-cerita lucu yang bisa membuat Anda tertawa.

Salah satu sumber cerita lucu yang tak pernah habis adalah kisah abu nawas. Siapa sih yang tidak kenal dengan abu nawas? Dia adalah seorang pujangga Arab yang sangat terkenal pada zaman Bani Abbasiyah. Kepiawaiannya dalam menggubah syair membuat dia sangat dihormati di berbagai kalangan, bahkan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid. Namun, abu nawas juga dikenal sebagai sosok yang jenaka dan cerdik. Dia sering membuat lelucon-lelucon yang bisa membuat siapa saja tertawa, bahkan Khalifah sekalipun. Dia juga sering menyelesaikan masalah-masalah yang sulit dengan cara yang kreatif dan tak terduga.


Berikut adalah beberapa contoh kisah abu nawas yang lucu sekaligus mengandung hikmah kehidupan:


Kisah Abu Nawas Mencari Neraka di Siang Hari

Suatu hari, abu nawas mendapat tugas dari Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk mencari neraka. Khalifah ingin tahu bagaimana bentuk dan keadaan neraka itu. Abu nawas pun berangkat mencari neraka dengan membawa lampu minyak dan menggoyangkannya sembari berhenti pada setiap sudut rumah. Orang-orang yang melihatnya heran dan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan abu nawas.

“Abu nawas, apa yang kau lakukan?” tanya salah seorang warga.

“Aku sedang mencari neraka,” jawab abu nawas singkat.

“Mencari neraka? Di siang bolong? Dengan lampu minyak?” tanya warga itu lagi dengan nada tak percaya.

“Ya, aku harus mencari neraka karena perintah Khalifah,” kata abu nawas.

“Tapi, bagaimana kau bisa menemukan neraka di siang hari? Bukankah neraka itu ada di bawah tanah?” tanya warga itu penasaran.

“Ah, kau tidak tahu apa-apa. Neraka itu ada di mana-mana. Neraka itu ada di hati manusia yang penuh dengan dosa dan kejahatan. Neraka itu ada di rumah-rumah yang tidak harmonis dan penuh dengan pertengkaran. Neraka itu ada di masyarakat yang tidak adil dan penuh dengan penindasan. Aku membawa lampu minyak ini untuk menerangi kegelapan hati manusia dan menunjukkan keburukan mereka,” jelas abu nawas panjang lebar.

Warga itu terdiam mendengar penjelasan abu nawas. Dia merasa tersindir dan malu atas perilakunya yang selama ini tidak baik. Dia pun meminta maaf kepada abu nawas dan berjanji akan memperbaiki dirinya.

Abu nawas pun melanjutkan pencariannya ke rumah-rumah lainnya. Di setiap rumah, dia selalu mendapatkan reaksi yang sama dari orang-orang yang tinggal di sana. Mereka merasa tersentuh dan tersadar akan kesalahan-kesalahan mereka. Mereka pun berubah menjadi orang-orang yang lebih baik dan taat beragama.

Akhirnya, abu nawas kembali ke istana Khalifah Harun Ar-Rasyid dan melaporkan hasil pencariannya.

“Bagaimana, abu nawas? Apakah kau sudah menemukan neraka?” tanya Khalifah penasaran.

“Ya, Baginda. Aku sudah menemukan neraka,” jawab abu nawas.

“Lalu, bagaimana bentuk dan keadaan neraka itu?” tanya Khalifah lagi.

“Neraka itu sangat mengerikan, Baginda. Neraka itu panas dan gelap. Neraka itu penuh dengan api dan azab. Neraka itu penuh dengan tangisan dan jeritan,” kata abu nawas.

“Benarkah? Lalu, di mana kau menemukan neraka itu?” tanya Khalifah heran.

“Di hati manusia, Baginda,” jawab abu nawas.

Khalifah terkejut mendengar jawaban abu nawas. Dia pun sadar bahwa apa yang dikatakan abu nawas adalah benar adanya. Dia pun memuji kecerdasan dan kejeniusan abu nawas dalam menyelesaikan tugasnya.

Hikmah: Kisah ini mengajarkan kita bahwa neraka bukan hanya tempat siksaan di akhirat, tetapi juga bisa berupa kondisi hati manusia yang jauh dari kebaikan dan ketakwaan. Kita harus selalu menjaga hati kita agar tidak terjerumus ke dalam dosa dan kejahatan. Kita harus selalu berbuat baik kepada sesama dan menjauhi segala bentuk kemungkaran.


Kisah Abu Nawas Menjadi Gila

Suatu hari, ayah abu nawas meninggal dunia. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan agar abu nawas menjadi seorang kadi (hakim) seperti dirinya. Abu nawas pun mewarisi jabatan ayahnya sebagai kadi di kota Baghdad. Namun, abu nawas tidak suka menjadi kadi karena dia merasa pekerjaan itu membosankan dan merepotkan. Dia lebih suka menjadi pujangga dan menyusun syair-syair indah.

Abu nawas pun mencari cara untuk melepaskan diri dari jabatan kadi tersebut. Dia pun memutuskan untuk berpura-pura menjadi gila agar orang-orang tidak mau mengadukan perkara kepada dirinya. Dia pun mulai melakukan hal-hal aneh dan konyol di depan umum, seperti menaiki batang pisang seperti kuda-kudaan, memakai baju terbalik, atau menyanyi lagu-lagu tidak karuan.

Orang-orang yang melihat tingkah laku abu nawas menjadi heran dan bingung. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi dengan abu nawas. Mereka pun mulai menjauhi abu nawas karena takut tertular penyakit gila darinya.

Khalifah Harun Ar-Rasyid pun mendengar kabar tentang kelakuan abu nawas yang menjadi gila. Dia pun memerintahkan para pengawalnya untuk membawa abu nawas ke istana agar dia bisa memeriksanya sendiri.

Ketika sampai di istana, abu nawas dibawa ke hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Khalifah pun bertanya kepada abu nawas tentang kondisinya.

“Abu nawas, apa yang terjadi denganmu? Mengapa kau menjadi gila?” tanya Khalifah dengan nada prihatin.

“Aku tidak gila, Baginda,” jawab abu nawas dengan tenang.

“Lalu, mengapa kau melakukan hal-hal aneh dan konyol di depan umum?” tanya Khalifah lagi.

“Itu semua hanyalah akal-akalan saya, Baginda,” kata abu nawas.

“Akal-akalan? Untuk apa?” tanya Khalifah penasaran.

“Untuk menghindari jabatan kadi yang saya warisi dari ayah saya,” kata abu nawas jujur.

“Menghindari jabatan kadi? Mengapa?” tanya Khalifah heran.

“Karena saya tidak suka menjadi kadi, Baginda,” kata abu nawas.

“Tidak suka menjadi kadi? Padahal jabatan kadi adalah jabatan mulia dan terhormat,” kata Khalifah.

“Bagi saya tidak begitu, Baginda,” kata abu nawas.

“Lalu apa yang kau sukai?” tanya Khalifah.

“Saya suka menjadi pujangga, Baginda. Saya suka menyusun syair-syair indah yang bisa menghibur dan menyentuh hati orang-orang,” kata abu nawas.

“Menjadi pujangga? Bukankah itu pekerjaan yang tidak berguna dan tidak bermanfaat?” kata Khalifah.

“Bagi saya tidak begitu, Baginda. Menjadi pujangga adalah pekerjaan yang mulia dan bermakna. Dengan syair-syair saya, saya bisa menyampaikan pesan-pesan penting dan bijak kepada orang-orang. Saya bisa mengkritik keadaan yang tidak adil dan tidak benar dengan cara yang halus dan cerdas. Saya bisa membuat orang-orang tertawa dan bahagia dengan humor-humor saya yang jenaka. Saya bisa membuat orang-orang terharu dan menangis dengan kisah-kisah saya yang menyentuh. Saya bisa membuat orang-orang berpikir dan bertanya-tanya dengan teka-teki-teki saya yang menggelitik. Saya bisa membuat orang-orang kagum dan terpesona dengan keindahan bahasa dan sastra saya,” kata abu nawas dengan semangat.

Khalifah terdiam mendengar penjelasan abu nawas. Dia pun sadar bahwa apa yang dikatakan abu nawas adalah benar adanya. Dia pun memuji kecerdasan dan kejeniusan abu nawas dalam menyusun syair-syairnya.

“Abu nawas, kau memang seorang pujangga yang hebat. Aku mengakui bakat dan kemampuanmu dalam bidang sastra. Aku juga menghargai kejujuranmu dalam mengungkapkan keinginanmu. Oleh karena itu, aku membebaskanmu dari jabatan kadi yang kau warisi dari ayahmu. Kau boleh menjadi pujangga sepuasnya dan menyusun syair-syair sesukamu,” kata Khalifah dengan murah hati.

“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan dan kemurahan hatimu,” kata abu nawas dengan gembira.

“Tapi, ada satu syarat,” kata Khalifah.

“Apa itu, Baginda?” tanya abu nawas.

“Kau harus menulis syair-syair untukku juga. Aku ingin mendengar syair-syairmu yang indah dan lucu setiap hari. Aku yakin syair-syairmu akan membuatku senang dan bahagia,” kata Khalifah.

“Baiklah, Baginda. Aku bersedia menulis syair-syair untukmu juga. Aku akan berusaha membuat syair-syair terbaik untukmu,” kata abu nawas.

“Baguslah. Sekarang, kau boleh pergi dan menulis syair-syairmu. Aku tunggu hasilnya besok,” kata Khalifah.

“Terima kasih sekali lagi, Baginda. Sampai jumpa besok,” kata abu nawas sambil membungkuk hormat.

Abu nawas pun pergi dengan hati riang. Dia merasa lega dan bahagia karena sudah terbebas dari jabatan kadi yang tidak disukainya. Dia pun merasa senang karena bisa menjadi pujangga yang dihormati oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Hikmah: Kisah ini mengajarkan kita bahwa setiap orang memiliki bakat dan minat yang berbeda-beda. Kita harus menghormati dan menghargai pilihan orang lain dalam menentukan pekerjaan atau profesi mereka. Kita juga harus jujur kepada diri sendiri dalam mengejar cita-cita kita. Kita harus melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kecintaan kita, bukan karena paksaan atau tekanan dari orang lain.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama