
Kelelahan akibat menjadi penerima pesan yang berlebihan kini menjadi masalah nyata. Setiap hari kita dibanjiri informasi, tanpa jeda. "Apa yang dulu disebut ‘menyimak’ kini berubah menjadi ‘terseret’. Sudah terseret, terpengaruh. Sudah terpengaruh, masih terpancing lagi. Bahkan seterusnya dibumbui rasa candu: ketagihan. Lengkap sudah," ungkap Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII Serpong, Tangerang Selatan.
Kondisi ini membuat kita rentan terhadap energi negatif seperti rasa takut, amarah, dan dengki. "Yang lebih menakutkan, kadang bukan pesan yang kita terima, tapi energi gelap di baliknya," imbuh Faidzunal. Oleh karena itu, diperlukan respons untuk melawannya sebelum terlambat. Salah satu cara efektif adalah dengan diam.
Diam bukanlah pasifitas, melainkan seleksi dan hening yang sadar. "Diam adalah keputusan, bukan kelambanan," tegas Faidzunal. Nabi Muhammad SAW, sebagai contoh, dikenal karena kemampuan menyerap informasi dengan jernih dan berbicara secara terbatas. Beliau sering berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan, untuk menimbang dan menghormati kebenaran.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 85: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” Juga dalam berbagai riwayat hadits, seperti kisah lelaki yang bertanya tentang ibunya yang meninggal sebelum bersedekah, dan kisah pertanyaan tentang kewajiban haji setiap tahun.
Bahkan sahabat Nabi, Ali karamallahu wajhah, berkata: “Nilai seseorang terletak pada apa yang ia katakan. Maka, jangan sembarangan bicara.” Socrates pun menekankan pentingnya diam dan bertanya untuk mencapai kebijaksanaan. "Kebijaksanaan sejati adalah menyadari bahwa kita tidak tahu," kata Socrates.
Diam yang bijak bukan tanda kelemahan, melainkan penghormatan terhadap kebenaran. Di era informasi yang bising, diam menjadi sikap spiritual yang revolusioner. "Di zaman bising, diam menjadi sikap spiritual yang revolusioner, karena mengajak kembali pada mendengar, menimbang, dan menyerap dengan jernih," pungkas Faidzunal. Kita perlu melatih kemampuan memilah, membiarkan, dan melepaskan informasi. Bukan seberapa banyak kabar yang kita tahu, tetapi seberapa tenang kita menjalani hari.