Ya, bahagia itu sederhana. Terkadang, kita terlalu sibuk mencari kebahagiaan di tempat yang jauh, atau bahkan di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh dengan ambisi. Padahal, kebahagiaan itu bisa hadir dalam hal-hal kecil yang seringkali kita abaikan.
Sering kali kita mendengar orang-orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu berkaitan erat dengan harta, tahta, atau status sosial. Bagi sebagian orang, kekayaan dan kedudukan adalah ukuran kebahagiaan yang tak terbantahkan. Namun, apakah benar demikian? Bagi sebagian orang, kebahagiaan tidak terletak pada materi, tetapi pada sesuatu yang jauh lebih sederhana: kesederhanaan itu sendiri.
ÙˆَÙ„َسْتُ Ø£َرَÙ‰ السَّعَادَØ©َ جَÙ…ْعَ Ù…َالٍ
ÙˆَÙ„َÙƒِÙ†َّ التَّÙ‚ِÙŠَّ Ù‡ُÙˆَ السَّعِيدُ
ÙˆَتَÙ‚ْÙˆَÙ‰ اللَّÙ‡ِ Ø®َÙŠْرُ الزَّادِ Ø°ُØ®ْرًا
ÙˆَعِÙ†ْدَ اللَّÙ‡ِ Ù„ِلتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ Ù…َزِيدُ
ÙˆَÙ…َا لاَ بُدَّ Ø£َÙ†ْ ÙŠَØ£ْتِÙŠ Ù‚َرِيبٌ
ÙˆَÙ„َÙƒِÙ†َّ الَّØ°ِÙŠ ÙŠَÙ…ْضِÙŠ بَعِيدُ
Aku tidak melihat kebahagiaan itu terletak pada mengumpulkan harta,
Tetapi orang yang bertakwa, dialah yang bahagia.
Ketakwaan kepada Allah adalah sebaik-baik bekal,
Dan di sisi Allah, ada tambahan pahala bagi orang yang bertakwa.
Apa yang pasti akan datang terasa dekat,
Namun, apa yang telah berlalu terasa jauh.
Ambil contoh, para muballigh dan muballighot LDII di Sampit Kotawaringin Timur. Bagi mereka, kebahagiaan tidak ditentukan oleh banyaknya harta atau jabatan. Justru, kebahagiaan mereka terwujud dalam kesederhanaan dan kedamaian yang datang dari dalam hati. Mereka menghabiskan lima hari penuh dengan semangat dalam mengikuti pengajian kitab Thoharoh, sebuah kitab yang membahas tentang kesucian, cara bersuci, berwudhu, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kebersihan batin dan lahir.
Dari pagi hingga malam, mereka duduk bersama, mendengarkan dan belajar ilmu agama dengan penuh perhatian. Tak ada rasa lelah atau kesedihan yang menghalangi mereka. Yang ada justru rasa syukur dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Mengaji ilmu agama bagi mereka bukanlah beban, melainkan sesuatu yang menyenangkan. Setiap pelajaran yang diterima terasa seperti berkah yang mengisi hati dengan kedamaian.
Mengapa demikian? Karena kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari apa yang kita miliki, melainkan dari bagaimana kita memaknai hidup ini. Ketika kita bisa merasa puas dengan apa yang ada, ketika kita merasa damai dengan diri sendiri, kebahagiaan itu muncul begitu saja, tanpa perlu dicari.
Jadi, apakah kebahagiaan itu sesederhana itu? Tentu saja. Terkadang kita hanya perlu berhenti sejenak dan melihat lebih dalam ke dalam diri kita. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus kita kejar dengan penuh ambisi. Ia hadir dalam setiap momen yang kita nikmati dengan hati yang bersyukur, dalam setiap kebaikan yang kita berikan kepada sesama, dan dalam setiap ilmu yang kita peroleh dengan tulus.Jadi, mari kita belajar dari mereka yang hidup dengan kesederhanaan, yang menemukan kebahagiaan bukan pada apa yang ada di luar, tetapi pada apa yang ada di dalam hati. Bahagia itu sederhana, dan terkadang, kebahagiaan terbesar datang dari hal-hal yang paling sederhana.Para muballigh dan muballighot ini, meskipun tidak hidup dalam kemewahan duniawi, mereka merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Bagi mereka, kebahagiaan itu datang dari hati yang bersih, dari ilmu yang bermanfaat, dan dari hubungan yang kuat dengan Sang Pencipta. Mereka menyadari bahwa hidup ini bukanlah tentang seberapa banyak harta yang kita kumpulkan, tetapi tentang seberapa banyak kedamaian yang kita rasakan dalam setiap langkah kehidupan.