Badal Haji dan Umrah, Diniatkan untuk Orang Lain


Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan istimewa. Bagi mereka yang telah mampu, baik dari segi harga maupun fisik, menjalankan haji adalah panggilan suci yang tak tergantikan. Namun, realitas kehidupan seringkali memperlihatkan situasi yang lebih kompleks.

Terdapat orang-orang yang hingga wafat belum dapat melaksanakan ibadah haji, meskipun secara syarat telah dinyatakan mampu. Mengapa demikian? Uzur menjadi kunci jawabannya. Uzur adalah kondisi-kondisi tertentu yang memenuhi sebab syar'i, sehingga seseorang diampuni dari kewajiban haji.

Uzur bisa berupa sakit, usia lanjut, atau faktor-faktor lain yang menghalangi pelaksanaan haji. Meskipun hati ingin berangkat, namun keterbatasan fisik atau kondisi kesehatan menjadi penghalang. Dalam Islam, uzur diakui sebagai bentuk rahmat dan kemudahan dari Allah.

Dalam kerangka spiritual Islam, badal haji adalah konsep yang mengajarkan tentang kepedulian dan solidaritas. Ketika seseorang beribadah haji, dia dapat mewakilkan niatnya untuk orang lain. Ini adalah bentuk kebaikan yang melampaui diri sendiri.


Bagaimana badal haji berfungsi?

1. Niat Ibadah: Seseorang yang berhaji dapat dengan tulus mewakilkan niatnya untuk orang lain. Misalnya, seorang anak berhaji atas nama orang tuanya yang telah wafat.

2. Kebaikan yang Terus Mengalir: Badal haji adalah investasi spiritual. Ketika seseorang berhaji untuk orang lain, pahala dan berkah dari ibadah tersebut juga sampai kepada penerima badal. Ini adalah amal jariyah, kebaikan yang terus mengalir bahkan setelah kita tiada.

3. Keterbatasan Fisik: Terkadang, ada orang yang telah mampu secara finansial dan syarat-syarat haji lainnya, tetapi kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berangkat. Dalam situasi ini, badal haji menjadi alternatif yang memungkinkan mereka untuk tetap berpartisipasi dalam ibadah ini.

4. Kekuatan Persaudaraan: Badal haji mengajarkan kita tentang persaudaraan sejati. Kita berbagi beban dan keberkahan dengan sesama manusia, tanpa memandang batasan waktu dan ruang.


Berikut beberapa hal penting sehubungan dengan badal haji dan umrah.

1. Orang yang masih hidup dan mampu melaksanakan haji, maka dia wajib melaksanakannya sendiri, tidak boleh mewakilkan kepada orang lain.

Berdasarkan dalil-dalil di bawah ini:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا. سورة آل عمران : ۹۷

"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah".


قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعُوْا أَنَّ مَنْ عَلَيْهِ حَجَّةُ الْإِسْلَامِ، وَهُوَ قَادِرُ لَا يُجْزِئُ إِلَّا أَنْ يَحُجَّ بِنَفْسِهِ، وَلَا يُجْزِئُ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ غَيْرُهُ. في الإجماع لابن المنذر

Ibnu al-Munzir berkata: "Para ulama' telah sepakat sesungguh- nya orang yang berkewajiban untuk melaksanakan haji islam dan dia mampu, maka tidak cukup kecuali jika dia melaksana- kan haji sendiri, tidak cukup jika ada orang lain yang haji diniati untuk dirinya."


2. Orang yang berkewajiban haji akan tetapi dia tidak mampu melaksanakan sendiri, karena sakit yang tidak ada harapan sembuh atau tua renta sehingga tidak mampu naik kendaraan, maka boleh diwakili hajinya.

Berdasarkan dalil di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجَّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِيْ عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. رواه البخاري

Dari Ibni Abbas RA, dia berkata: "Seorang perempuan dari Khots'am datang pada tahun haji Wada', lalu dia berkata: "Ya Rasulallah sesungguhnya kewajiban (dari) Allah atas hamba- hambaNya di dalam haji telah ada pada bapak saya yang sudah tua renta, tidak mampu tetap di atas kendaraan, apakah jika saya haji mewakili bapak bisa menggugurkan kewajibannya?". Nabi bersabda: "lya".


3. Orang yang diwakili hajinya karena sakit kemudian dia sembuh, maka kewajiban hajinya tetap gugur, dia tidak berkewajiban melaksanakan haji sendiri. Sebagian ulama' berpendapat bahwa kewajiban hajinya belum gugur, dia wajib haji sendiri. 

Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa kewajiban hajinya telah gugur, karena Nabi SAW menyamakan orang yang haji mewakili bapaknya sama dengan membayar hutang bapaknya. Orang yang tidak mampu melunasi hutangnya, lalu ada orang lain yang melunasi hutangnya, maka telah gugur kewajibannya untuk melunasi hutang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hazm di bawah ini:

قَالَ ابْنُ حَزْمٍ: فَإِنْ حَجَّ عَمَّنْ لَمْ يُطِقُ الرُّكُوْبَ وَالْمَشْيَ لِمَرَضِ أَوْ زَمَانَةٍ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ ثُمَّ أَفَاقَ فَإِنَّ أَبَا حَنِيْفَةَ، وَالشَّافِعِيَّ قَالَا : عَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ وَلَا بُدَّ، وَقَالَ أَصْحَابُنَا: لَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ بَعْدُ. قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ : إِذَا أَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ بِالْحَجِّ عَمَّنْ لَا يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ رَاكِبًا وَلَا مَاشِيًا، وَأَخْبَرَ: أَنَّهُ دَيْنُ اللَّهِ يُقْضَى عَنْهُ؛ فَقَدْ تَأَدَّى الدَّيْنُ بِلَا شَكٍّ وَأَجْزَأَ عَنْهُ، وَبِلَا شَكٍّ أَنَّ مَا سَقَطَ وَتَأَدَّى، فَلَا يَجُوْزُ أَنْ يَعُودَ فَرْضُهُ بِذلِكَ إِلَّا بِنَضٌ وَلَا نَصَّ هَاهُنَا أَصْلًا بِعَوْدَتِهِ - وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ عَائِدًا لَبَيَّنَ هِ ذَلِكَ؛ إِذْ قَدْ يَقْوَى الشَّيْخُ فَيُطِيقُ الرُّكُوبَ؛ فَإِذْ لَمْ يُخْبِرِ النَّبِيُّ ﷺ بِذلِكَ فَلَا يَجُوْزُ عَوْدَةُ الْفَرْضِ عَلَيْهِ بَعْدَ صِحَّةِ تَأَدِّيْهِ عَنْهُ. في المحلى لابن حزم  

Ibnu Hazm berkata: "Jika ada orang yang mewakili haji wajib- nya orang lain yang tidak mampu naik kendaraan dan tidak mampu berjalan karena sakit atau sakit dalam waktu lama yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, kemudian dia sembuh maka menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i dia wajib haji sendiri. Sedangkan guru-guru kami berpendapat bahwa orang itu tidak wajib haji lagi setelah itu (setelah diwakili hajinya). Abu Muhammad (Ibn Hazm) berkata: Ketika Nabi SAW perintah kepada orang yang tidak mampu naik kendaraan dan berjalan untuk di wakili hajinya dan beliau memberitahu- kan bahwa sesungguhnya hutang kepada Allah (berupa haji) bisa dibayarkan oleh orang lain, sehingga ketika hajinya orang itu diwakili oleh orang lain maka tidak ada keraguan bahwa hutangnya telah terbayar dan itu cukup. Dan tidak ada keraguan bahwa suatu kewajiban yang sudah gugur dan terlaksana maka tidak bisa kembali menjadi wajib, kecuali dengan nash dan tidak ada nash yang menunjukkan kewajiban itu kembali lagi. Jika kewajiban itu kembali lagi maka Nabi akan menjelaskan demikian itu, kerena orang yang tua bisa kembali kuat dan mampu naik kendaraan, jika Nabi SAW tidak memberitahukan demikian itu maka kewajiban haji itu tidak bisa kembali lagi baginya setelah haji yang diwakili itu (badal haji itu) dihukumi sah.


4. Barang siapa yang berkewajiban haji, kemudian dia meninggal dunia sebelum melaksanakan haji, maka sebelum hartanya di waris, terlebih dahulu diambil untuk biaya badal haji yang di niatkan untuk dirinya, baik dia wasiat atau tidak wasiat. 

Berdasarkan dalil di bawah ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أتَيْ بِجَارِيَةٍ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، قَالَ: فَقَالَ: وَجَبَ أَجْرُكِ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيْرَاثُ؛ قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَصُوْمُ عَنْهَا؟ قَالَ: صُوْمِي عَنْهَا قَالَتْ: إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ، أَفَأَحُجُ عَنْهَا؟ قَالَ: حُجِّيْ عَنْهَا. رواه مسلم

Dari Abdillah bin Buraidah dari bapaknya RA, ia berkata: Ketika itu saya sedang duduk di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba datanglah seorang wanita dan berkata: "Saya pernah memberi- kan seorang budak wanita kepada ibuku, dan kini ibuku telah meninggal dunia (apakah budak itu bisa menjadi milik saya kembali)?" Beliau (Rasulullah) menjawab: "Kamu telah men- dapatkan pahala atas shadaqahmu itu, dan sekarang shadaqah- mu itu telah kembali kepadamu sebagai warisan", Wanita itu bertanya lagi: "Wahai Rasulullah, Ibuku punya hutang puasa satu bulan, bolehkah saya membayar puasanya?" beliau menjawab: "Ya, bayarlah puasanya itu." wanita itu berkata lagi: "Ibuku juga belum menunaikan haji, bolehkah saya haji mewakili ibu?" beliau menjawab: "Ya, hajilah mewakili ibu".

قَالَ ابْنُ حَزْمٍ: وَمَنْ مَاتَ وَهُوَ مُسْتَطِيعُ حُجَّ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ وَاعْتُمِرَ وَلَا بُدَّ مُقَدَّمًا عَلَى دُيُونِ النَّاسِ إِنْ لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَحُبُّ عَنْهُ تَطَوُّعًا سَوَاءً أَوْصَى بِذَلِكَ أَوْ لَمْ يُوْصِ بِذَلِكَ، بُرْهَانُ صِحَّةِ قَوْلِنَا: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْمَوَارِيْثِ: مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِيْ بِهَا أَوْ دَيْنٍ [سورة النساء : ١١]، فَعَمَّ عَزَّ وَجَلَّ الدُّيُونَ كُلَّهَا. في المحلى لا بن حزم

Ibnu Hazm berkata: "Barang siapa yang mati dan dia mampu (untuk haji) maka haji dan umrahnya diwakilkan dengan mengambil sebagian dari harta pokoknya, dan itu harus di dahulukan daripada hutang kepada manusia jika tidak ada orang yang sukarela haji untuk mewakilinya, baik dia wasiat atau tidak. Dalil yang menunjukkan benarnya ucapan kami adalah firman Allah ta'ala di dalam warisan "setelah wasiat yang dia wasiat dengannya atau membayar hutang", Allah menyebut semua hutang secara umum."


5. Seseorang diperbolehkan haji atau umrah sunah di niati untuk orang lain yang sudah meninggal dunia atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh. Dalilnya di qiyaskan pada badal haji wajib.

6. Orang yang haji diniati untuk orang lain boleh meminta atau menerima ujrah/upah. Dasarnya diqiyaskan dengan orang yang mengajari al-Quran diperbolehkan meminta upah, 

sebagaimana disebut dalam hadits di bawah ini:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ مَرُّوا بِمَاءٍ، فِيْهِمْ لَدِيعٌ أَوْ سَلِيْمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ، فَقَالَ: هَلْ فِيْكُمْ مِنْ رَاقٍ، إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيعًا أَوْ سَلِيْمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ، فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا: أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ الله. رواه البخاري

Dari Ibni Abbas, sesungguhnya beberapa sahabat Nabi SAW melewati mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di mata air tersebut datang dan berkata: "Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa". Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al-Fatihah dengan upah beberapa ekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing-kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya membenci hal itu, mereka berkata; "Apakah kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, dia ini mengambil upah atas kitabullah." Maka Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah."


7. Syarat haji mewakili orang lain.

a. Sudah melaksanakan ibadah haji.

Berdasarkan dalil di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ سَمِعَ رَجُلًا يَقُوْلُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبُرَمَةَ، قَالَ : مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي، قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا ، قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ. رواه أبو داود

Dari Ibni Abbas, sesungguhnya Nabi SAW mendengar seorang laki-laki berkata: "Labbaik 'an Syubrumah", lalu Nabi bertanya: "Siapakah Syubrumah itu?", dia menjawab: "Dia adalah saudara laki-laki saya atau kerabat saya". Nabi bertanya: "Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?", dia menjawab: "Belum", maka Nabi bersabda: "Hajilah untuk dirimu sendiri kemudian hajilah untuk Syubrumah."


b. Orang yang dihajikan adalah orang yang sudah meninggal dunia atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh. 

Berdasarkan ijma' ulama' yang berpendapat boleh melaksanakan badal haji, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar di bawah ini:

قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: اتَّفَقَ مَنْ أَجَازَ النِّيَابَةَ فِي الْحَجِّ عَلَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ فِي الْفَرْضِ إِلَّا عَنْ مَوْتٍ أَوْ عَضْبٍ، فَلَا يَدْخُلُ الْمَرِيضُ لِأَنَّهُ يُرْجَى بُرْؤُهُ، وَلَا الْمَجْنُوْنُ لِأَنَّهُ تُرْجَى إِفَاقَتُهُ، وَلَا الْمَحْبُوسُ ؛ لِأَنَّهُ يُرْجَى خَلَاصُهُ، وَلَا الْفَقِيْرُ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ اسْتِغْنَاؤُهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ. في فتح الباري

Ibnu Hajar berkata: "Orang yang memperbolehkan haji diniati mewakili orang lain (badal haji) telah sepakat bahwa haji wajib yang diniati untuk orang lain itu tidak sah kecuali diniati untuk orang yang sudah mati atau orang yang lumpuh (sakit yang tidak ada harapan sembuh). Sedangkan orang yang sakit biasa tidak boleh diwakili hajinya karena ada harapan untuk sembuh, juga tidak boleh haji diniati untuk orang gila karena ada harapan bisa sadar/ waras akalnya, juga tidak boleh haji diniati untuk orang yang dipenjara karena ada harapan bisa bebas dan juga tidak boleh haji diniati untuk orang fakir karena ada kemungkin- an menjadi kaya, Allah lebih Mengetahui".


8. Perempuan boleh mewakili haji diniati untuk laki-laki, begitu juga laki-laki boleh mewakili haji diniati untuk perempuan. 

Berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْئًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِيْ عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. رواه البخاري

Dari Ibni Abbas RA, dia berkata: Seorang perempuan dari desa Khats'am datang (kepada Nabi SAW) pada tahun haji Wada', dia berkata: "Wahai Rasulallah, sesungguhnya perintah wajib- nya Allah atas hambaNya dalam haji telah sampai pada bapakku yang tua renta, dia tidak mampu bertempat di atas kendaraan, maka apakah mencukupi darinya apabila saya yang mewakili haji?" Nabi bersabda: "Ya."


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَتَى رَجُلُ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِيْ قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ. رواه البخاري


Dari Ibni Abbas RA, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu dia berkata kepada beliau: "Sesungguhnya saudara perempuanku sungguh telah bernadzar untuk haji, dan dia telah wafat", Maka Nabi SAW bersabda: "Seandainya dia memiliki hutang, apakah engkau membayarnya?" Dia berkata: "Ya". Nabi bersabda: "Maka membayarlah kamu kepada Allah, karena (hutang kepada) Allah lebih berhak untuk dibayar."


قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ : يَجُوْزُ أَنْ يَنُوْبَ الرَّجُلُ عَنِ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ، وَالْمَرْأَةُ عَنِ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِي الْحَجِّ فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ. في المغني لابن قدامة

Ibnu Qudamah berkata: "Seorang laki-laki boleh haji mewakili orang laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan juga boleh mewakili haji orang laki-laki dan perempuan, menurut pendapat umumnya ahli ilmu."

Buku Pedoman Ibadah LDII Jilid III

Post a Comment

Previous Post Next Post