Di balik hiruk pikuk kehidupan, terselip pepatah Jawa kuno yang sarat makna: "Ojo ongso-ongso kaya cacing nguntal klapa, ora keuntal malah bongko" Pepatah ini mengingatkan kita untuk tidak serakah dalam menjalani hidup.
Cacing, makhluk kecil yang tak berdaya, diibaratkan sebagai manusia yang rakus. Ia berusaha menelan buah kelapa yang jauh lebih besar dari dirinya. Alih-alih mendapatkan makanan, cacing itu justru terjerat dan mati.
Seringkali, manusia terjebak dalam keserakahan. Ingin memiliki lebih banyak harta, kekuasaan, dan kenikmatan duniawi. Tak jarang, rasa serakah ini menghalalkan segala cara, mengabaikan nilai-nilai moral dan etika.
Namun, seperti cacing yang terjerat kelapa, keserakahan hanya membawa petaka. Kehidupan yang diwarnai kerakusan tak ubahnya racun yang perlahan menggerogoti kebahagiaan dan ketenangan.
Pepatah "Ojo ongso-ongso kaya cacing nguntal klapa" mengajak kita untuk hidup seimbang dan bersyukur. Menyadari bahwa kebahagiaan tak terletak pada harta benda semata, melainkan pada ketenangan hati dan hubungan yang tulus.
Kisah Pak Tani dan Pohon Pisang
Pak Tani memiliki sepetak kebun pisang yang subur. Setiap panen, ia selalu menjual semua pisangnya dengan harga tinggi. Suatu hari, seorang pengemis datang dan meminta sepotong pisang. Pak Tani dengan tega mengusirnya.
Tak lama kemudian, badai dahsyat menghantam kebun Pak Tani. Hampir semua pohon pisang tumbang dan hancur. Pak Tani menyesali perbuatannya dan menyadari bahwa keserakahan telah membawanya pada kesedihan.
Kisah Pak Tani menjadi pelajaran berharga bahwa keserakahan tak membawa manfaat. Hiduplah dengan penuh rasa syukur dan berbagi dengan sesama. Kebahagiaan sejati terletak pada keseimbangan dan ketulusan hati.
Pepatah "Ojo ongso-ongso kaya cacing nguntal klapa" bukan sekadar kalimat kuno, melainkan sebuah panduan hidup yang bijak. Mari jadikan pepatah ini sebagai pengingat agar kita tidak terjerat dalam keserakahan dan menjalani hidup dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan.