Pesta Demokrasi


Hiruk-pikuk pesta demokrasi pada tahun ini dengan acara puncak pada tanggal 17 April 2019 (hari pencoblosan) nanti tampaknya berbeda dari pemilihan calon legisalatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) sebelumnya. Terutama yang menjadi sorotan adalah kebisingan dan “pertempuran” dari para pendukung masing-masing pasangan calon presiden baik di media sosial maupun di tataran medan lapangan.
Ada yang menilai bahwa apa yang muncul dan berkembang di media sosial maupun di lapangan sudah keblabasan. Maraknya hoax, ujaran kebencian, kampanye negatif, membuat masyarakat terbelah. Malahan yang dikuatirkan  hoax dan ujaran kebencian itu dapat melahirkan konflik horizontal yang menggoyang stabilitas nasional maupun persatuan dan kesatuan bangsa.
Bangsa ini pernah punya pengalaman pemilu pada tahun 1955 yang dikenang sebagai pemilu paling demokratis sampai sekarang. Harapannya, pengalaman itu dapat memberikan inspirasi dan energi sebagaimana pesan Presiden pertama RI, Bung Karno: “Indonesia adalah komunitas karakter yang berkembang dari komunitas pengalaman bersama”. Dengan kata lain, fakta kesejarahan itu yang membuat keragaman etnis, budaya, ras, golongan, dan agama yang menghuni tanah air ini bisa menjadi suatu negara (NKRI). Bangsa Indonesia terwujud dari ekspresi persamaan karakter yang tumbuh karena persatuan pengalaman. Karena itu, Indonesia adalah kehendak kita untuk hidup bersama.
Rakyat Indonesia tentu menyambut gembira pesta demokrasi ini. Semoga pesta demokrasi ini menjadi seberkas cahaya yang menerangi generasi bangsa ini, terutam generasi milenial, untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi di negara tercinta ini. Karena, kalau boleh sedikit kita evaluasi, demokrasi hari ini adalah perjuangan menyusuri jalan panjang, terjal dan curam, berliku dan berkelok, serta sarat tantangan dan jebakan, permainan isu, intrik, dan fitnah. Yang dikuatirkan, sebenarnya sudah sebagian kalangan sampaikan, pesta demokrasi kita ini sudah mengabaikan etika, nilai-nilai, melupakan kehendak baik untuk hidup bersama mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang digelorakan para pendiri bangsa ini.
Rakyat Indonesia berharap sesungguhnya melalui pesta demokrasi ini ada kesadaran bersama tentang pentingnya arti berdemokrasi dalam bernegara dan berkonstitusi. Mungkin perlu, salah satunya, adanya perbaikan sistem kepartaian yang konsisten. Karena, aktual sekali kebutuhan untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kehendak bersama membumikan Pancasila, misalnya. Narasi seperti ini penting dibangun untuk menyongsong masa depan dengan belajar dari pengalaman masa lalu, untuk mendorong Indonesia yang lebih baik di jalan demokrasi yang lebih kuat.
Situasi menjelang 17 April 2019 ini dengan suhu politik yang semakin meningkat, menuntut kita memiliki mata yang tajam, tetapi juga dengan hati dan pikiran yang jernih dalam semangat bersama untuk memperjuangkan kehidupan politik yang lebih bermartabat.
Tidak dapat dipungkiri partai menjadi pilar demokrasi. Sementara partai-partai itu bukanlah suatu kesatuan yang monolitik, melainkan merupakan “sekumpulan individu atau koalisi kelompok-kelompok sub partai yang memiliki keinginan bersama namun berbeda prioritas dan kepentingan atau preferensi termasuk dalam kompetisi di dalam partai itu sendiri “ (Kennet Janda, and Robin Gillies “Continuity and Change”, Free Press, 1980). Pertanyaannya, apakah dengan kondisi kepartaian sekarang ini mampu membantu mewujudkan  konsolidasi demokrasi.
Pendekatan Huntingtonian (Samuel Huntington, Political Order in Chaning Societies, Yale University, 1968) pada umumnya menyakini bahwa salah satu gagasan sentral dalam konsep institusionalisasi itu adalah “kemampuan struktur partai untuk bertahan dan membangun stabilitas sehingga keberadaannya tidak lagi tergantung pada pimpinan maupun anggota awal yang memulainya.
Partai diharapkan menjadi salah satu center of gravity (pusat gravitas) nasionalisme Indonesia. Perkembangan konsteks global, baik merosotnya pertentangan ideologi maupun derasnya arus liberalisasi, memberi peluang partai-partai menjual program-program konkrit, bukan sekadar wacana-wacana. Misal bagaimana dengan konsep “ekonomi berbagi” (sharing economy), yang telah menghapus jarak antara penguasaan alat produksi dengan penguasaan akses produksi.
Bagaimana, misalnya, dengan “Kemandirian 4.0” secara sederhana dapat dijelaskan yaitu yang bertumpu pada inovasi sebagai elemen utama daya saing (competitiveness). Belum lagi, mungkin misalnya, “Kedaulatan 4.0” yang boleh disimpulkan sebagai perimbangan antara hak untuk mempertahankan nasionalisme dan sekaligus kewajiban untuk menjungjung tinggi humanisme atau kemanusiaan. Atau “Kepribadian 4.0” kalau boleh diterangkan sebagai upaya untuk membentengi diri dari budaya yang bertentangan dengan jati diri bangsa ini dengan berlandaskan pada empat konsensus nasional yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Catatan tersebut menggarisbawahi, untuk menegaskan bahwa pesta demokrasi memang selalu memiliki tantangan tersendiri. Nah bagaimana partai-partai menjawab tantangan tersebut, termasuk kemampuan menjawab tantangan tersebut, sebagai window opportunity (jendela peluang) untuk melalui pesta demokrasi ini mempercepat pembangunan yang mensejahterakan bangsa serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sekaligus ada kepastian hukum di bumi pertiwi ini. Saya teringat ucapan Bung Karno: “Menaklukan ribuan manusia mungkin tidak disebut pemenang, tapi bisa menaklukan diri sendiri disebut penakluk yang brilian”. Wallahu a’lam bishawab.
Iskandar Siregar
Ketua DPP LDII/Wakil Pemimpin Redaksi Nuansa

Post a Comment

Previous Post Next Post