Sore itu, angin sepoi-sepoi di Sampit membawa ketenangan yang mendalam. Di depan masjid Barokah, Pakde Prie terlihat tenggelam dalam suasana, bersandar di dinding masjid, matanya terpejam, mungkin dalam dzikir atau sekadar menikmati istirahat sejenak.
Barru dan empat pemuda lainnya mendekati Pakde Prie dengan langkah yang bersemangat, "Assalamu'alaikum Pakde!"
Pakde Prie terkejut, matanya terbuka lebar, "Wa'alaikum salam! Masya Allah! Pakde terkejut! Lha gak terasa ketiduran!" serunya dengan suara yang masih terdengar mengantuk.
Wajahnya yang terlihat loyo seakan menyimpan cerita, "Lha iya, rasanya masih belum move on dari begadang iktikaf-an di bulan Ramadhan kemaren. Mata kok bawaannya mengantuk melulu," keluh Pakde Prie sambil mengusap matanya.
Mereka pun duduk bersama, bercengkerama, berbagi cerita dan tawa. Barru memulai, "Pakde, cerita dong, zaman muda Pakde gimana sih Ramadhannya?"
Pakde Prie tersenyum, "Wah, itu dulu. Kita sahur bareng, tarawih ramai-ramai. Sekarang mah, muda-mudi pada sibuk dengan gadgetnya."
"Betul, Pakde. Tapi kami juga tetap semangat loh tadarusnya. Malah jadi lebih sering kumpul karena ada grup WhatsApp," timpal salah satu pemuda.
Pakde Prie tertawa, "Itu dia, teknologi bisa mendekatkan yang jauh, tapi kadang menjauhkan yang dekat. Yang penting niatnya baik, ya kan?"
"Omong-omong gimana dengan tadarus Alquran kalian? Sudah khatam belum?" tanya Pakde Prie dengan rasa penasaran.
"Alhamdulillah sudah Pakde!" jawab mereka serentak, penuh semangat.
"Syukurlah, saya bahagia mendengarnya. Alquran itu bukan hanya untuk dibaca, tapi juga untuk diamalkan. Semoga kita semua bisa menjadi lebih baik lagi ya," ujar Pakde Prie dengan mata yang berbinar.
Cerita sore itu berlanjut dengan diskusi tentang nilai-nilai yang mereka petik dari Alquran, tentang bagaimana Ramadhan telah mengajarkan mereka tentang kesabaran, kebersamaan, dan keikhlasan. Di tengah perubahan zaman, tradisi tadarus Alquran tetap menjadi jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar budaya dan spiritual mereka.
Saat jam digital di masjid Barokah berbunyi, menandakan waktu Maghrib telah tiba, suasana menjadi lebih hening. Barru, dengan langkah yang tergesa-gesa, memasuki masjid. Ia menyalakan mikrofon dan mengumandangkan adzan dengan suara yang merdu, yang bergema hingga ke sudut-sudut kota Sampit, mengundang siapa saja yang mendengarnya untuk segera berhenti sejenak dari kesibukan dunia.
Pakde Prie, dengan semangat yang terbarukan, mengajak para pemuda, "Ayo, kita segera berwudhu. Sudah waktunya kita bersatu dalam shalat berjamaah."
Mereka pun beranjak, meninggalkan debu sore yang masih tergantung di udara, menuju tempat wudhu. Air yang mengalir dingin menyentuh kulit, mengingatkan akan kesegaran iman yang terus diperbaharui, seperti air yang mengalir membersihkan jiwa.
Setelah wudhu, mereka berbaris rapi di dalam masjid. Pakde Prie berdiri di depan, sebagai imam, dengan Barru dan pemuda lainnya mengikuti dengan khusyuk. Suasana masjid yang semula hanya dipenuhi oleh bisikan angin kini berubah menjadi ruang yang dipenuhi dengan dzikir dan doa.
Shalat Maghrib berjamaah itu dilaksanakan dengan penuh khidmat. Setiap gerakan dan bacaan mereka serentak, seolah-olah menegaskan kembali ikatan persaudaraan yang telah terjalin selama Ramadhan. Setelah salam, Pakde Prie memimpin doa, memohon agar keberkahan Ramadhan terus menyertai mereka sepanjang tahun.
Ketika mereka keluar dari masjid, langit telah berubah menjadi jingga, menandakan hari telah berakhir. Namun, bagi Pakde Prie dan para pemuda, hari itu bukan sekadar berakhir, melainkan menjadi awal dari komitmen baru untuk menjalankan nilai-nilai yang telah mereka renungkan selama Ramadhan.