Krisis Seks di Korea Selatan dan Jepang: Faktor Ekonomi dan Solusinya



Krisis seks adalah fenomena sosial yang terjadi ketika pasangan mengurangi frekuensi hubungan seksual dan memiliki anak. Krisis seks dapat berdampak pada penurunan angka kelahiran, yang berpengaruh pada jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Krisis seks tengah terjadi di Korea Selatan dan Jepang, dua negara maju di Asia. Menurut data PBB, angka kelahiran Korea Selatan adalah 0,84 anak per wanita pada tahun 2022, yang merupakan yang terendah di dunia. Sementara itu, angka kelahiran Jepang adalah 1,36 anak per wanita pada tahun yang sama, yang juga termasuk yang terendah di dunia.


Penyebab Krisis Seks di Korea Selatan

Korea Selatan adalah negara yang dikenal dengan kemajuan teknologi, budaya pop, dan prestasi olahraga. Namun, di balik keberhasilan tersebut, terdapat masalah sosial yang serius, yaitu krisis seks. Berikut beberapa kemungkinan penyebabnya:

Biaya Hidup yang Tinggi Menurut OECD, Korea Selatan adalah negara dengan biaya hidup tertinggi keempat di dunia pada tahun 2022. Hal ini membuat masyarakat Korea Selatan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama di kota-kota besar seperti Seoul.

Biaya hidup yang tinggi juga berpengaruh pada biaya pernikahan dan pengasuhan anak. Menurut Korea Herald, rata-rata biaya pernikahan di Korea Selatan adalah 280 juta won  pada tahun 2022. 


Krisis Seks di Korea Selatan dan Jepang: Faktor Ekonomi dan Solusinya
 verage cost of a wedding in South Korea from 2018 to 2023 https://www.statista.com/


Dengan biaya yang mahal, banyak pasangan Korea Selatan yang menunda atau bahkan mengurungkan niat mereka untuk menikah dan punya anak. Mereka lebih memilih untuk fokus pada karier dan gaya hidup mereka sendiri.

Tekanan Sosial dan Budaya Korea Selatan adalah negara yang memiliki budaya yang kuat dan konservatif. Dalam budaya Korea Selatan, pernikahan dan memiliki anak adalah hal yang diharapkan dan dihormati oleh masyarakat. Namun, hal ini juga menimbulkan tekanan sosial dan budaya bagi pasangan Korea Selatan.

Tekanan sosial dan budaya dapat berasal dari keluarga, teman, atau lingkungan kerja. Misalnya, keluarga sering kali menanyakan kapan pasangan akan menikah atau punya anak, atau memberikan saran yang tidak diminta. Teman sering kali membandingkan status pernikahan atau jumlah anak mereka. Lingkungan kerja sering kali menuntut kinerja yang tinggi dan tidak memberikan kelonggaran bagi pasangan yang memiliki anak.

Tekanan sosial dan budaya ini dapat membuat pasangan Korea Selatan merasa stres, tertekan, atau tidak bahagia. Hal ini dapat mengurangi hasrat seksual dan keinginan untuk memiliki anak.

Perubahan Nilai dan Sikap Korea Selatan adalah negara yang mengalami perubahan nilai dan sikap yang cepat seiring dengan perkembangan zaman. Generasi muda Korea Selatan, terutama yang lahir setelah tahun 1990-an, memiliki nilai dan sikap yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Generasi muda Korea Selatan lebih terbuka, mandiri, dan berorientasi pada diri sendiri. Mereka lebih menghargai kebebasan, kesempatan, dan kebahagiaan pribadi. Mereka juga lebih kritis, skeptis, dan realistis terhadap pernikahan dan memiliki anak.

Generasi muda Korea Selatan tidak melihat pernikahan dan memiliki anak sebagai tujuan hidup atau kewajiban sosial. Mereka melihat pernikahan dan memiliki anak sebagai pilihan hidup yang harus dipertimbangkan dengan matang. Mereka juga tidak ingin mengorbankan karier, hobi, atau impian mereka demi pernikahan dan memiliki anak.



Penyebab Krisis Seks di Jepang

Jepang adalah negara yang dikenal dengan kekayaan budaya, tradisi, dan sejarah. Namun, Jepang juga menghadapi masalah krisis seks yang serupa dengan Korea Selatan. Berikut beberapa kemungkinan penyebabnya:

Sedikit Peluang Kerja Jepang adalah negara yang mengalami stagnasi ekonomi sejak tahun 1990-an. Hal ini menyebabkan peluang kerja menjadi terbatas, terutama untuk generasi muda Jepang. Menurut Japan Times, tingkat pengangguran di Jepang adalah 3,1% pada tahun 2022, yang merupakan yang tertinggi sejak tahun 2017.

Sedikitnya peluang kerja membuat generasi muda Jepang kesulitan mencari nafkah. Apalagi, laki-laki diharapkan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab atas penghasilan. Akibatnya, generasi muda Jepang tidak ingin menikah dan punya anak.

Ketidakamanan Finansial Peluang kerja yang terbatas juga mengakibatkan generasi muda Jepang mengalami ketidakamanan finansial. Mereka harus bersaing dengan sesama pencari kerja, atau bekerja dengan gaji yang rendah dan jam kerja yang panjang.

Ketidakamanan finansial ini membuat generasi muda Jepang tidak mampu menanggung biaya pernikahan dan pengasuhan anak. Menurut Japan Today, rata-rata biaya pernikahan di Jepang adalah 3,34 juta yen (sekitar Rp440 juta) pada tahun 2022. Sedangkan, rata-rata biaya pengasuhan anak adalah 37.000 yen (sekitar Rp490 ribu) per bulan.

Dengan biaya yang tinggi, generasi muda Jepang lebih memilih untuk menghemat uang dan menikmati hidup mereka sendiri. Mereka juga tidak ingin terikat dengan komitmen pernikahan dan memiliki anak.

Harus Mengurus Keluarga Jepang adalah negara yang memiliki budaya yang patriarkal dan tradisional. Dalam budaya Jepang, perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga, anak, dan suami setelah menikah. Sedangkan, laki-laki diharapkan untuk bekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarga.

Budaya ini menimbulkan beban dan tekanan bagi perempuan Jepang, terutama yang memiliki karier. Mereka harus memilih antara bekerja atau berhenti bekerja setelah menikah. Jika mereka memilih untuk bekerja, mereka harus menghadapi diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja. Jika mereka memilih untuk berhenti bekerja, mereka harus mengorbankan karier dan identitas mereka.

Beban dan tekanan ini membuat perempuan Jepang enggan menikah dan punya anak. Mereka lebih memilih untuk mandiri dan berprestasi di bidang yang mereka sukai.

Tidak Jago dalam Asmara Jepang adalah negara yang memiliki budaya yang sopan dan malu-malu. Dalam budaya Jepang, asmara dianggap sebagai hal yang tabu dan rahasia. Mereka jarang menunjukkan perasaan atau kasih sayang di depan umum. Mereka juga tidak terbiasa dengan pacaran atau kencan.

Budaya ini membuat generasi muda Jepang tidak jago dalam asmara. Mereka tidak tahu bagaimana cara mendekati, berkomunikasi, atau berhubungan dengan lawan jenis. Mereka juga tidak memiliki kepercayaan diri atau keterampilan sosial yang cukup.

Ketidakjagoan ini membuat generasi muda Jepang tidak tertarik dengan asmara. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman sejenis

Post a Comment

Previous Post Next Post