Politik identitas adalah sebuah fenomena yang tidak asing lagi dalam dunia politik. Politik identitas adalah sebuah strategi politik yang menggunakan identitas kelompok, seperti agama, suku, ras, gender, atau kelas, sebagai basis untuk memobilisasi dukungan pemilih. Politik identitas sering kali dikaitkan dengan gerakan sosial yang menuntut pengakuan dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas atau marginal.
Namun, politik identitas juga bisa menjadi senjata bermata dua. Di satu sisi, politik identitas bisa menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan atau tertindas. Di sisi lain, politik identitas juga bisa menjadi alat untuk memecah belah dan menimbulkan konflik antar kelompok dalam masyarakat.
Salah satu contoh negara yang mengalami dampak positif dan negatif dari politik identitas adalah Indonesia. Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Keberagaman ini seharusnya menjadi kekayaan dan kekuatan bangsa Indonesia. Namun, keberagaman ini juga sering kali dimanfaatkan oleh para elit politik untuk menggalang dukungan pemilih dengan cara mengadu domba dan menakut-nakuti kelompok-kelompok tertentu.
Dalam konteks Pemilu, politik identitas sering kali muncul sebagai isu yang sensitif dan kontroversial. Pemilu adalah ajang kompetisi politik yang menentukan siapa yang akan memimpin dan mengatur negara. Oleh karena itu, para elit politik berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan hati dan pikiran pemilih dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan politik identitas.
Politik identitas dalam Pemilu bisa berbentuk positif atau negatif. Bentuk positifnya adalah ketika para elit politik menggunakan identitas kelompok sebagai sarana untuk menyampaikan visi, misi, program, dan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan kepentingan dan aspirasi kelompok tersebut. Bentuk negatifnya adalah ketika para elit politik menggunakan identitas kelompok sebagai sarana untuk menyerang, menjatuhkan, atau mendiskreditkan lawan politiknya dengan cara menghasut, memfitnah, atau menyebarkan hoaks.
Salah satu tokoh yang mengkritik penggunaan politik identitas dalam Pemilu adalah Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso. Dalam sebuah acara Musyawarah Wilayah IV LDII Papua Barat pada Selasa (26/9), ia menyampaikan pandangannya tentang bahaya politik identitas bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
KH Chriswanto mengatakan bahwa akar sejarah politik identitas adalah gerakan moral dan perjuangan kelas, untuk melepaskan diri dari penindasan dan kesewenang-wenangan. Gerakan politik identitas dipakai orang-orang kulit hitam melawan diskriminasi warga kulit putih.
“Namun Pemilu di Indonesia, Amerika, Belanda, dan Italia di abad 21, menunjukkan batasan mengenai komunikasi politik populis dan politik identitas menjadi kabur. Keduanya digunakan untuk memburukkan pihak lain, juga untuk membuat batasan antara kawan dan lawan,” tutur KH Chriswanto.
KH Chriswanto mencontohkan bagaimana Pemilu lalu, para elit politik menggunakan politik identitas untuk menandai atau melabel pihak lain. Bukan untuk membangkitkan semangat membangun bangsa dan negara, sebagaimana lahirnya teori politik identitas. Dari penggunaan politik identitas yang negatif itu, melahirkan komunikasi politik populis.
Komunikasi politik populis adalah bentuk komunikasi yang menyalahkan pihak lain, atas kegagalan negeri ini, “Bentuknya terlihat, kelompok-kelompok agama menyalahkan para nasionalis jauh dari Tuhan, sehingga negara menjadi gagal. Sementara kelompok nasionalis mengatakan kegagalan bangsa akibat pola pikir konservatif para pemuka agama,” tutur KH Chriswanto.
KH Chriswanto juga menyoroti bagaimana politik identitas dan komunikasi politik populis digunakan oleh para elit politik di negara-negara lain, seperti Italia, Jerman, dan Belanda, yang menuding penyebab sempitnya lapangan kerja dan penurunan ekonomi dialamatkan kepada para imigran Timur Tengah, “Sama halnya saat Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Trump, menuding imigran Meksiko mengambil alih lapangan kerja warga,” ujarnya.
Menurut KH Chriswanto, politik identitas dan komunikasi politik populis memang terbukti mampu memikat pemilih juga membangkitkan fanatisme. Namun ada risiko yang lebih besar, “Keutuhan, persatuan, dan kesatuan bangsa menjadi taruhan,” tegas KH Chriswanto. Cita-cita luhur berdirinya negara dan bangsa Indonesia jadi pertaruhan hanya karena Pemilu lima tahun sekali.
Oleh karena itu, KH Chriswanto mengingatkan para elit politik agar bersikap dewasa, dengan tidak membawa gaya kampanye politik identitas dalam menghadapi Pemilu 2024, “Saya minta seluruh elit politik supaya lebih dewasa, dalam mensikapi, tidak termakan pola-pola komunikasi politik populis dan praktik politik identitas yang berakibat timbulnya perpecahan,” kata Chriswanto.
KH Chriswantojuga mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi dan menyadari, Indonesia ini dibangun atas dasar perbedaan, “Dan sudah seharusnya perbedaan itu tidak dipermasalahkan lagi,” paparnya.
KH Chriswanto juga mengimbau para elit politik untuk menyadari risiko perpecahan, bila masih menggunakan gaya lama dalam kampanye Pemilu. Selain itu, beliau juga meminta pihak-pihak lain jangan menunggangi tahun politik demi popularitas, “Membuat kegiatan yang mendiskriminasi pihak lain di tahun politik, justru motifnya perlu dicurigai. Sekadar untuk popularitas atau memang ingin memecah belah bangsa,” tegas KH Chriswanto.
Politik identitas dalam Pemilu adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari. Namun, kita sebagai bangsa yang berdaulat harus bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk bagi kepentingan bersama. Kita harus bisa menggunakan politik identitas sebagai peluang untuk memperkuat solidaritas dan kerjasama antar kelompok, bukan sebagai ancaman untuk memecah belah dan mengadu domba antar kelompok. Kita harus bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di atas segala perbedaan yang ada. Kita harus bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju, adil, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.