Membanggakan, Warga LDII ini Turut Memelopori Produksi Ecotik - Ecoprint dan Batik

 

Membanggakan, Warga LDII ini Turut Memelopori Produksi Ecotik - Ecoprint dan Batik

Warga LDII memelopori produksi ecotik, perpaduan ecoprint dan batik dengan pewarna berbahan jamu tradisional. Diharapkan, warisan luhur terjaga dan lingkungan pun lestari.


Omah Fatma demikian nama usahanya. Ditempuh dari terminal Giwangan berjarak 13,4 km. Dari Malioboro, akan lebih dekat lagi, hanya berjarak 7,3 km. Bila Anda mencari lewat Google Map, cukup ketikkan Omah Fatma – Textile Craft and Workshop Ecoprint. Lokaso usaha tersebut, berada di Condongcatur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Sesampainya di lokasi Omah Fatma, Anda akan disuguhi pemandangan berbagai jenis dedaunan dan bunga. Tampak meja berukuran sekitar 2 x 3 meter untuk memproses ecotik. Ada pula tungku digunakan mengukus, tempat menjemur hasil karya, hingga berbagai bahan dan perkakas pendukung.


Menghadap ke kiri, Anda akan nampak sebuah rumah, dilengkapi banner tertulis “Omah Fatma”. Di situ terlihat tampilan hasil karya pada berbagai media, seperti kain, baju, sepatu, tumbler, tas, hingga payung.


Begitu masuk ke rumah tersebut, Anda akan disambut hangat oleh Cak Irfan, Ira Fatma dan Ertika Fatma, founder dari Omah Fatma. Ketiga orang itu, adalah warga LDII DIY. Irfan sendiri merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang sebelumnya aktif bekerja di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Ternyata, ia adalah lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, yang saat ini dikenal umum dengan nama Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.


Sedangkan Ira, anak pertama dari Irfan, merupakan motor penggerak Omah Fatma. Seorang seniman pemilik berbagai keterampilan. Mulai dari menjahit, membatik, mendesain, hingga menjadi profesi guru. Terakhir, ada Ertika, merupakan anak bungsu dari Irfan. Saat ini, ia duduk di bangku kelas 2 SMKN 5 Yogyakarta, dengan bidang keahlian tekstil dan batik.


Lalu apa yang istimewa dari Omah Fatma? Di bengkel berupa rumah sederhana tersebut, ada ecotik yang terbilang tren baru. Sebuah gabungan 2 budaya dan 2 teknik berbeda, ecoprint dan batik. Tapi bukan hanya soal itu, batik adalah batik: sebuah teknik memblok warna. Omah Fatma begitu istimewa karena perannya dalam menjaga lingkungan.


Batik Indonesia sendiri telah resmi diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2 Oktober 2009. Tuntutan kepada Indonesia kian berat. Selain harus dapat merawat tradisi kriya tekstil itu, produksinya harus kian ramah lingkungan. Pasalnya, penggunaan zat pewarna kimia dengan takaran ugal-ugalan, dapat merusak ekosistem sungai. Parahnya lagi, hanya segelintir pengusaha batik saja yang memiliki sistem pengelolaan limbah yang baik.


Berangkat dari itulah, trio Omah Fatma memelopori batik ramah lingkungan. Di Yogyakarta episentrum budaya Jawa itu mereka mulai mengembangkan “Ecotik”, perpaduan ecoprint dan batik. Menggunakan perwarna alami berbahan dasar jamu tradisional, sehingga sangat ramah lingkungan.


Kemudian apa bedanya batik dan ecotik? Sebenarnya sama halnya dengan batik tradisional, semua bermula dari kain mori. Selanjutnya dikombinasikan dengan proses pembatikan. “Proses pembatikan bisa dengan beberapa pilihan, seperti teknik tulis, teknik cap, teknik lukis dan teknik kombinasi,” kata Ira.


Ia mengatakan, proses produksi ecotik di Omah Fatma, yang digunakan adalah teknik kombinasi, “Ecotik yang dihasilkan mempunyai perpaduan yang unik. Ecoprint dengan kombinasi batik cap motif parijotho. Motif batik khas Sleman,” ungkapnya.


Hal kedua yang lebih unik, adalah penggunaan bahan dasar pewarna alami jamu Jawa. Biasanya berupa bahan terdiri dari mahoni, secang, tegeran, tingi, jolawe dan jambal. “Kami di Omah Fatma, membuat eksplorasi pewarnaan dengan menggunakan manjakani dan jolawe. Keduanya dikenal sebagai bahan jamu tradisional yang terkenal khasiatnya sejak zaman dahulu,” imbuhnya.


Ia berujar, mengangkat bahan=bahan tersebut sebagai eksplorasi, tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai ekonomi dari bahan tersebut. Serta menambah nilai unik dari produk Omah Fatma. “Bersaing global, dengan cara mengangkat nilai kearifan lokal. Dari kombinasi unik ecotik, yaitu pewarna alami bahan jamu tradisional,” jelasnya.


Ira dengan penuh cekatan memberikan instruksi pada ketiga siswa PKL tersebut. Sinta hilir mudik, mengambil daun dan bunga. Afis dan Ola, membantu Ira mengambil beberapa alat dan bahan. Selanjutnya, selembar kaos segera diletakkan di atas meja, diberikan penopang antara sisi bawah dan atas kaos, sehingga bisa dimasukkan berbagai macam daun, seperti daun yerba, daun kayu afrika, dan daun lanang, serta bunga kenikir.


Tiba-tiba, saat mengerjakan ecoprint tersebut, hujan turun, “Tak masalah,” tutur Ira. Karena justru, kain yang sedang diproses itu tidak boleh kering, agar motif dari daun dapat menempel dengan baik. Suasana hujan yang sejuk, ternyata mendukung prasyarat tersebut.


Usai meletakkan daun dan bunga, Ola dan Sinta nampak bekerja sama meratakan daun yang ada di antara dua sisi kaos. Kemudian digulung, hingga jadi sempurna. Gulungan tersebut diikat dengan tali rafia, seperti bungkusan lontong, dan dikukus selama 2 jam. Cara itu, mereka lakukan berulang-kali, hingga pada hari itu, selesai tiga kaos, dan tiga buah kain, serta satu buah tumbler.


Setelah pengukusan sekitar dua jam, lalu kaos dan kain diambil. Tampaklah indah motif dari daun dan bunga yang telah diletakkan sebelumnya. Ada berbagai macam warna, dan tentunya, motifnya tidak akan nampak sama dengan yang lainnya. Sebab, ketika arah dan jumlah daun dibedakan saja, akan menghasilkan motif yang secara keseluruhan berbeda. Di sinilah terletak limited edition-nya. Selain menggunakan bahan alami, juga bisa dipastikan hasil karyanya jelas berbeda dengan yang lain. Sehingga akhirnya menjadi sebuah karya edisi terbatas.

Usai menyelesaikan proses produksi, sambil duduk, Irfan, Ira dan Ertika menceritakan sejarah perjalanan dari Omah Fatma. Ira lalu menceritakan, awalnya ia berbisnis dengan nama Fatma Collection, sekitar tahun 2008. Awalnya berprofesi penjahit dengan membuka butik, bertahan hingga tahun 2015.


Kemudian, dalam perjalanan, Ira mengalami kejenuhan. Ia lalu menghidupkan kegiatan membatik. Karena kebetulan, selain dari ayah dan ibunya, ada bibinya yang berdarah seni tempatnya banyak belajar. Akhirnya, dibuatlah batik jumputan. “Melalui ibu, kami belajar macam-macam motif batik. Dari tante, belajar proses produksinya. Ayah mengajari kami desain dan detailing proses pewarnaan,” ujarnya.


Menurut Ira, jumputan adalah proses pembatikan yang paling mudah. Tinggal diikat menggunakan karet, dan biasanya diisi dengan kelereng atau kerikil. Dapat juga mutiara tiruan. Di Kalimantan Selatan, teknik itu dikenal dengan sasirangan. Berasal dari Bahasa Banjar, yaitu sirang yang berarti menjelujur. Adapun di Palembang, disebut kain pelangi, di jawa, disebut jumputan, atau tie dye. “Pasarnya adalah konsumen jahit, dengan promosi kain limited edition. Karena memang, motifnya, kami sendiri yang membuat,” katanya lagi.


Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2017, Ira mendapatkan tawaran mengajar di SDN Terbansari 1, untuk mengajar ekstrakurikuler membatik. Ira seperti berada pada waktu yang tepat. Pasalnya, menyikapi Hari Batik Nasional yang jatuh saban 2 Oktober, pemerintah DIY menginstruksikan sekolah-sekolah untuk menghidupkan keterampilan membatik. Secara otomatis dibutuhkan guru ekstrakurikuler membatik.


Sampai tahun 2018 akhir, karena kecintaannya pada dunia per-batikan. Ia pun mengembangkan kombinasi jumputan dengan olah batik. “Kalau menjadi pengusaha, tetapi tidak ada inovasi. Ya seperti itu saja,” ucapnya. Pada prosesnya, awalnya, ia masih menggunakan pewarna kimia. “Sering kami gunakan naptol, indigosol, dan remasol,” jelasnya.


Tak lelah berinovasi, ia pun menambah inovasinya dengan teknik pewarnaan shibori. Adalah teknik pewarnaan kain mengandalkan ikatan dan celupan. “Punya ciri khas pewarna indigo, memiliki ciri khas menghasilkan warna biru,” ungkapnya. Saat itu, uang hasil penjualan kain jumputan perlahan dibagi menjadi 2. Sebagian untuk modal membuat stok kain jumputan, serta sebagian modal uji coba shibori.


Membanggakan, Warga LDII ini Turut Memelopori Produksi Ecotik - Ecoprint dan Batik



Bagian menarik selanjutnya lagi, saat sekolah SD tempat Ira mengajar mengikuti lomba Adiwiyata. Pada ajang itu, mengharuskannya menghadirkan program yang ramah, peduli dan berbudaya lingkungan. Dari situlah, ia mulai mengeksplorasi ecoprint. “Ecoprint merupakan seni mengolah kain dengan memanfaatkan daun, bunga, serta kulit buah, dan kulit pohon sebagai pembuat motif. Pewarna yang digunakan berbahan alami, sehingga tercipta produk ramah lingkungan,” ujarnya.


Awalnya, Ira lanjut bercerita, belum tahu siapa yang harus ditanya dan di mana ia bisa belajar. Pakai bunga mawar, dipukul-pukul. Menggunakan daun, setelah dipukul, kemudian dikukus. “Ternyata tidak jadi, karena jelas membuat warnanya ke mana-mana dan gagal,” ujarnya.


Saat itu, ia hanya punya waktu sekitar dua minggu. “Minggu pertama gagal, namun pada minggu kedua, ada wali murid menawarkan untuk belajar,” Ira bercerita. Ia pun bersyukur, ia dapat belajar dengan baik. Materi bisa tersampaikan sehingga akhirnya, punya produk unggulan unik dan cantik, serta ramah lingkungan. “Ternyata pula, wali murid tersebut eorang pengurus kampung. Kami terus membangun relasi, sehingga dari situ pula pesanan ecoprint terus berdatangan. Mulai dari kebutuhan kain, sepatu dan tas,” ujarnya.


Tak berselang beberapa lama, pada tahun 2020 ternyata pandemi Virus Covid-19 melanda dunia, hingga Indonesia. Banyak kegiatan terhambat, termasuk ekstrakurikuler. “Mengisi waktu, kami bereksperimen. Mulai dari batik tulis yang dikombinasikan dengan ecoprint. Jumputan dari bekas tutup botol, dan shibori,” ungkapnya.


Lalu Ia pun membudidayakan tanaman-tanaman yang dibutuhkan untuk produksi ecoprint. Harapannya, saat membutuhkan bahan berupa daun dan bunga, ia tak perlu lagi membeli, selain bermanfaat pula sebagai penghijauan.

Tak berhenti berinovasi, ia pun menambah lagi referensi pewarna alami yang bisa dieksplorasi, dan mengerucut di bahan jamu. Kemudian berbicara motif, ia pun mengombinasikan batik tulis, batik cap, jumputan, shibori dan ecoprint. “Sehingga lahirlah ecotik, menggunakan pewarna alami, bahan jamu,” ujarnya.


“Pada akhirnya, setelah melalui jalan panjang pembelajaran. Serta banyak kemudahan yang diberikan Allah subhanahu wata'ala, serta rasa syukur. Kami berkomitmen untuk terus berbagi. Salah satunya dengan generasi muda LDII,” ujarnya.


Musim hujan pada tahun 2021, Omah Fatma dan LDII, berkolaborasi membangun Laboratorium Tanaman Ecoprint di Bumi Perkemahan Dewaruci, Pantai Selatan Yogyakarta. Ia mengungkapkan, Ketua DPW LDII Yogyakarta, yang juga Dosen Fakultas Kehutanan UGM Atus Syahbudin, membantu. Supaya kelak, laboratorium tersebut dapat menjadi semacam arboretum, atau taman botani.


“Dan melalui perjalanan panjang tersebut, serta dukungan dari Pak Atus. Tak disangka, karya batik Omah Fatma kini sudah berada di Belanda. Di dalam Hortus Botanicus Leiden, kebun botani tertua di Belanda,” tutupnya. (Fredi/LINES)

Post a Comment

Previous Post Next Post