Kurikulum pendidikan Indonesia, dirancang untuk melahirkan generasi yang kompetitif. Namun kurang lengkap, bila tak dibarengi dengan pendidikan karakter. Hal itu mengemuka dalam dialog mahasiswa yang digelar Direktur Paradigma Institut Prasetyo Sunaryo, di gedung DPW LDII Jawa Timur pada beberapa waktu lalu.
“Dalam penelitian kami, kesuksesan yang berdasarkan ijazah pendidikan formal hanya 15 persen, sementara 80 persen adalah kecakapan hidup atau life skill sementara 5 persen sisanya ditentukan faktor-faktor lainnya,” ujar Prasetyo. Untuk itu, pendidikan di luar kelas dengan keluarga dan ormas sebagai wadah untuk membentuk karakter generasi muda sangat penting. Indonesia emas pada 2045, sulit diwujudkan bila pendidikan karakter diabaikan.
Berbicara mengenai pendidikan anak di bawah usia 15 tahun, hal yang pertama dilakukan adalah dengan membentuk karakter anak. Pendidikan di luar kelas harus mewujudkan empat pilar kepribadian atau karakter anak, dan menjadi esensi dari pendidikan di luar kelas. Menurut Prasetyo, peran orang tua sangat besar dalam hal ini.
Pertama, para orangtua harus membiasakan atau melatih anak, untuk mengevaluasi kegiatannya dalam seharian. Anak-anak diajak berdialog menceritakan apa saja yang sudah dikerjakan atau dialaminya pada hari itu. Orangtua, bisa memberikan solusi atau menyakan kepada anak bagaimana jalan keluarnya. Sehingga terjadi saling tukar pikiran, yang merangsang daya kritis anak.
Kedua, anak diajarkan supaya fokus atau khusuk (mindfulness), dengan kekhusukan atau fokus, tubuh menjadi memiliki energi positif yang kuat untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Tubuh menjadi lebih giat bekerja karena memiliki tujuan dan sasaran. “Melatih fokus pada anak-anak ini bisa dilakukan dengan mengajak anak mendengarkan dongeng, untuk melatih antusiasme, dari sinilah nilai-nilai kehidupan diajarkan kepada anak,” ujar Prasetyo.
Untuk itu pemerintah dan para kreator film harus dapat membuat film dengan tema-tema yang mendidik. Malaysia misalnya, sukses dengan film Upin Ipin. Indonesia memiliki film seperti Laptop Si Unyil yang merupakan adaptasi dari film boneka Si Unyil. Para pekerja seni dituntut untuk membuat film dengan unsur pendidikan nilai yang tinggi namun menghibur.
“Dalam era 4.0 para pembuat film dituntut membuat tayangan yang mampu membangkitkan antusias anak-anak dan melatih fokus mereka,” ujar Prasetyo. Untuk melatih kefokusan anak-anak, mereka harus diajarkan merumuskan keinginan sekaligus diarahkan bagaimana cara untuk meraih keinginannya tersebut.
Ketiga, mindset anak harus diarahkan untuk memiliki cita-cita yang besar sekaligus memahami konsekuensinya. Bila memiliki keinginan, mereka dimotivasi untuk mewujudkan cita-citanya. Misalnya anak ingin memiliki bola, ia diajarkan menabung. Saat uang tabungan anak kurang, orangtua bisa menambahkan sedikit. Dengan demikian anak-anak merasa membeli atau meraih keinginannya dengan hasil usahanya.
Mindset ini juga berkaitan dengan bekerja sama. Anak-anak bisa diarahkan bekerja sama dalam membuat naskah drama bersama, lalu berlatih mementaskan hal tersebut. Bahkan merancangnya sebagai pertunjukan bersama, yang dipertontonkan di kelas atau di depan orangtua mereka.
Keempat, anak harus mulai belajar design thinking, diberikan sebuah pola kerja. Pertama harus ada empati yang berangkat dari masalah, dan mulai berpikir bagaimana mendesain jalan keluar dari masalah tersebut. Si anak bisa saja diasah kepeduliannya terhadap kawan-kawannya yang kurang mampu, dengan membantu berbagi bekal di sekolah. Atau bahkan patungan membuat usaha, seperti menjual layang-layang untuk memperoleh uang jajan tambahan.
Kelima, berilah anak motivasi. Setidaknya anak diberi dorongan. PR merupakan salah satu motivasi untuk mengerjakan tugas dari guru, dengan segala konsekuensinya yang ditanggung sang anak ketika tak mengerjakannya. Inilah motivasi dalam bentuk paksaan atau motivasi eksternal. Maka harus ada motivasi yang tumbuh dari dalam (internal) yang dikondisikan dengan motivasi dari luar (eksternal).
“Motivasi seperti ini, bisa dilihat dalam permainan sepak bola. Bek harus bermain dengan baik, untuk memenuhi kebutuhan kiper, agar gawangnya tak kebobolan,” ujar Prasetyo Soenaryo. Menurutnya, bila anak-anak hingga usia remaja mampu menguasai 5 hal ini. Mereka bisa menjadi insan yang adaptif, kreatif solutif.
Di sinilah pentingnya pemerintah merangkul ormas dan keluarga, dalam membentuk karakter dan menanamkan nilai. Sementara pemerintah fokus pada pendidikan sekolah dalam meningkatkan siswa yang kompetitif.
http://www.ldii.or.id/id/news/organisasi-3/organisasi/2281-strateginya-fungsi-ormas-dan-keluarga-dalam-pendidikan-karakter.html