Dody menegaskan bahwa lembaga manapun yang nantinya akan menerima amanah UU ini, pertimbangannya adalah efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan haji dan umroh, serta pengelolaan keuangannya. Ia melanjutkan bahwa efektivitas struktur organisasi lembaga pengelolaan keuangan haji harus memastikan pemisahan yang jelas antara fungsi pengelolaan dana dan pengawasan internal agar tidak terjadi konflik kepentingan. “Pemisahan ini sangat penting agar tidak ada benturan kepentingan,” pungkasnya.
Dody juga mengusulkan peningkatan SDM yang berintegritas dan profesional untuk mendukung lembaga pengelolaan dana keuangan haji, mulai dari manajemen puncak hingga staf pelaksana. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan khusus dalam manajemen investasi syariah.
Selanjutnya, terkait dengan aspek efisiensi dan efektivitas, Dody mendorong dilakukannya upaya optimalisasi pengelolaan dana haji. “Pengelolaan dana harus lebih fokus pada efisiensi operasional, yang digunakan semaksimal mungkin untuk memenuhi hak dasar jamaah, perlindungan jamaah, serta meningkatkan pelayanan dan kenyamanan jamaah,” imbuhnya.
Berbicara tentang aspek keempat, yakni investasi pengelolaan keuangan haji, Dody menyarankan agar dilakukan diversifikasi investasi yang aman dan menguntungkan. “Hindari ketergantungan pada satu jenis investasi tertentu. Perluas portofolio ke sektor yang lebih stabil, seperti surat berharga, logam mulia, dan reksadana berbasis syariah, ataupun investasi langsung dengan proporsi yang terukur,” katanya.
Dody mengatakan bahwa investasi dalam bentuk emas sangat menguntungkan karena nilainya terus bertambah dan mudah untuk diawasi. Bahkan, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) belum melirik emas sebagai investasi. “Nilai pasarnya jelas dan terus bertambah, ini sangat menguntungkan dan memudahkan pengawasan,” ujar Dody.
Dody melanjutkan bahwa aspek terakhir yang perlu diperhatikan adalah mengenai tata kelola. “Diperlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam hal publikasi laporan keuangan,” ungkap Dody.
Selain itu, perlu juga ada penguatan peran DPR, BPK, otoritas terkait, serta stakeholder lainnya, termasuk ormas Islam, untuk melaksanakan peran pengawasan. Jika ditemukan penyimpangan dalam pengelolaan dana haji, Dody mengusulkan agar diberikan sanksi yang jelas dan tegas. “Sanksi tersebut bisa berupa sanksi administratif maupun pidana bagi pihak yang melakukan penyelewengan, penyalahgunaan, dan missmanagement, yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya manfaat yang diterima jamaah,” imbuhnya.
Dody juga mengusulkan agar masyarakat dan jamaah haji diberikan akses untuk terlibat. “Tingkatkan keterlibatan publik melalui mekanisme masukan dan partisipasi dalam pengelolaan dana haji, misalnya melalui keterangan publik yang diadakan secara berkala oleh lembaga yang diberikan amanat UU,” katanya.
Dody menyimpulkan bahwa revisi UU No 34 Tahun 2014 harus berfokus pada peningkatan kepatuhan syariah, penguatan kelembagaan, peningkatan efisiensi dan efektivitas, optimalisasi investasi, serta sanksi yang jelas terhadap ketidaksesuaian pengelolaan dana haji.
Dody menegaskan bahwa LDII mengusulkan agar kelembagaan yang dibentuk kuat dan akuntabel. Ia tidak mempermasalahkan jika pengelola dana haji digabung dengan lembaga penyelenggara haji, “Namun, variabel pertimbangan utamanya adalah kajian mendalam mengenai efisiensi dan efektivitas lembaga tersebut dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk jamaah haji Indonesia.”