"Lidah memang tak bertulang," demikian pepatah lama yang kerap kita dengar. Walau kecil dan tak bertulang, lidah bisa menjadi alat paling tajam yang dimiliki manusia. Jika tidak dijaga, ia bisa melukai lebih dalam dari sebilah pedang.
Berapa banyak hubungan persahabatan yang awalnya hangat, akrab, dan penuh kepercayaan—berubah menjadi renggang, dingin, bahkan berakhir karena lisan yang tak terkendali. Sebuah candaan yang terlalu jauh, sindiran yang menyakitkan, atau pembicaraan di belakang sahabat sendiri, bisa membuat luka yang sulit disembuhkan.
Padahal, dalam Islam, menjaga lisan bukan sekadar adab, tapi bagian dari kesempurnaan iman. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ucapan kita mencerminkan isi hati dan kadar keimanan kita. Bila ucapan kita sering menyakiti, menggunjing, dan mempermalukan orang lain, maka itu adalah isyarat bahwa hati sedang bermasalah. Islam mengajarkan untuk menyebarkan kedamaian, bukan luka; menjaga harga diri, bukan merobek kehormatan.
Persahabatan adalah amanah. Di dalamnya ada kepercayaan, cinta, dan doa. Jika seseorang membukakan pintu hatinya untuk kita—menceritakan kekurangan dan aibnya—maka itu bukan celah untuk kita manfaatkan saat marah, melainkan kepercayaan yang harus kita jaga hingga akhir. Maka benar perkataan para ulama, "Sahabat sejati adalah yang tetap menjaga aibmu meski ia tak lagi berjalan bersamamu."
Allah SWT mengingatkan kita dalam Al-Qur’an agar berhati-hati dengan ucapan dan menjaga kehormatan orang lain:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik daripada mereka..."
(QS. Al-Hujurat: 11)
"Dan janganlah kamu menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya..."
(QS. Al-Hujurat: 12)
Bayangkan, Allah menggambarkan ghibah (menggunjing) seperti memakan bangkai saudara sendiri—betapa menjijikkan dan kejinya tindakan itu. Maka bagaimana mungkin seseorang mengaku mencintai sahabatnya, tetapi mudah membicarakan aibnya di belakang, bahkan menjadikannya bahan hiburan?
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang Muslim, maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di hari Kiamat."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Perhatikan betapa tinggi kedudukan orang yang menjaga saudaranya. Menjaga dari kesulitan, menjaga dari rasa malu, dan menjaga dari kehancuran harga diri. Di sinilah sejatinya letak kemuliaan dalam persahabatan: saling menjaga, saling menutup aib, dan saling menguatkan.
Jika hari ini ada sahabat yang menjauh, tanyakanlah dengan jujur pada diri kita:
Apakah lisan kita yang membuatnya terluka? Apakah candaan kita yang berlebihan? Ataukah cerita tentang dirinya yang kita sebarkan tanpa izin?
Jangan menunggu sampai semuanya terlambat. Karena kata-kata yang menyakitkan memang mudah diucapkan, tapi sulit ditarik kembali. Ucapan kita bisa menjadi sebab seseorang menangis dalam diam, atau kehilangan kepercayaan selamanya.
Maka, jika pernah salah, jangan malu untuk minta maaf. Tidak ada yang hina dari mengakui kesalahan, justru di sanalah keindahan hati seorang mukmin tampak—karena ia lebih mencintai perbaikan daripada gengsi.
Jadilah Sahabat yang Menyelamatkan
Dalam kehidupan ini, sahabat sejati adalah bukan yang datang saat senang saja, tetapi yang tetap bertahan saat kita dalam keadaan lemah dan penuh kekurangan. Ia bukan hanya teman tertawa, tapi juga penenang kala luka. Dan kita pun, bila ingin menjadi sahabat yang dirindukan, maka jadilah orang yang menjaga lisan, menjaga hati, dan menjaga rahasia.
Persahabatan yang dijaga karena Allah akan langgeng, bukan hanya di dunia, tapi hingga ke akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok manusia yang bukan nabi dan bukan pula syuhada', namun para nabi dan syuhada pun iri kepada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah."
Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, tanpa adanya hubungan nasab atau harta. Demi Allah, wajah mereka bercahaya dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak takut ketika manusia merasa takut dan tidak bersedih ketika manusia bersedih."
(HR. Abu Dawud, Hasan Shahih)
Maka semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang persahabatannya membawa keberkahan dan keselamatan, bukan luka dan perpisahan