Foto ilustrasi esai dibawah |
Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, menandakan waktu maghrib yang akan tiba, Pakde Pri terlihat duduk santai di bawah rindangnya pohon beringin depan masjid. Langit yang semula biru kini mulai berubah warna, menjadi kanvas bagi burung-burung yang terbang pulang ke sarang. Suasana tenang, hanya sesekali terdengar suara anak-anak bermain di kejauhan.
Beberapa pemuda mendekat, langkah mereka ringan namun penuh tujuan. Mereka adalah Naufal,Barru, Bintang, Rizal, dan Halim, generasi milenial yang menggabungkan gaya hidup modern dengan nilai-nilai tradisional. Mereka sering berkumpul di sini, di bawah naungan Pakde Pri, untuk berbagi cerita dan tawa.
“Bagaimana puasa hari ini? Masih semangat kan?” Pakde Pri membuka percakapan dengan pertanyaan yang menyentuh kegiatan mereka sehari-hari.
“Iya, Pakde! Semangat terus!” jawab mereka serentak, penuh antusiasme.
Pakde Pri tersenyum, kepuasan tergambar jelas di wajahnya. “Alhamdulillah,” gumamnya.
Pembicaraan pun mengalir, dari topik sehari-hari hingga ke pembahasan yang lebih dalam. Pakde Pri, dengan bijak, mengambil kesempatan ini untuk memberikan nasihat yang berharga.
“Ibarat sebuah bangunan, shalat itu adalah pondasi. Pondasi yang kuat akan menopang tiang-tiang dan atap di atasnya. Jika pondasi kokoh, maka seluruh bangunan akan tegak berdiri. Begitu pula dengan shalat, ia adalah pondasi iman kita. Jangan menunggu orang lain untuk menshalati dirimu, mulailah dari diri sendiri,” ujar Pakde Pri, mengibaratkan pentingnya shalat dalam kehidupan.
Para pemuda itu mendengarkan dengan seksama, mengangguk-angguk mengerti. Mereka tahu, nasihat dari Pakde Pri bukan sekadar kata-kata, melainkan pelajaran hidup yang akan mereka bawa selamanya.
Percakapan sore itu berakhir dengan hikmah yang mendalam. Pakde Pri, dengan senyum hangatnya, menawarkan sesuatu yang tak terduga.
“Bagaimana kalau kalian semua berbuka di rumahku nanti? Ada kue bingka khas banjar yang Istriku buat, pasti kalian suka,” ajak Pakde Pri.
Para pemuda itu saling pandang, seraya mengangguk. Kesempatan berbuka bersama sambil menikmati hidangan lokal tentu saja menjadi penutup yang sempurna untuk hari yang penuh berkah.
Mereka pun beranjak, meninggalkan masjid yang telah menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Langkah mereka menuju rumah Pakde Pri, diiringi oleh senandung Alquran speaker masjid lain yang tidak jauh tempatnya, mengingatkan bahwa waktu untuk berbuka segera tiba.
Di rumah Pakde Pri, suasana hangat menyambut mereka. Meja makan sudah tertata rapi dengan aneka hidangan; ada getuk trio Magelang, kolak pisang, dan tentu saja, kue bingka yang telah dinantikan. Istri Pakde Pri menyambut mereka dengan senyum lebar. Tak lama kemudian, terdengar kumandang adzan magrib.
“Selamat datang, anak-anak. Mari kita berbuka bersama,” ucapnya.
Momen berbuka itu menjadi lebih dari sekadar makan malam. Ini adalah perayaan persaudaraan, kebersamaan, dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh. Pakde Pri dan keluarganya telah membuka lebih dari sekadar pintu rumah mereka; mereka telah membuka hati, memperkuat ikatan yang telah terjalin.Setelah berbuka puasa, suasana di rumah Pakde Pri masih terasa hangat dan penuh kebersamaan. Waktu berlalu begitu cepat, Pakde Pri, dengan lembut, mengingatkan para pemuda.
“Sudah waktunya shalat maghrib, mari kita bersiap ke masjid,” ucapnya.
Mereka pun membersihkan meja, mencuci tangan, dan mempersiapkan diri. Dengan langkah yang ringan, mereka berjalan kembali ke masjid, tempat dimana mereka akan melaksanakan shalat maghrib secara berjamaah. Ada rasa syukur yang mendalam dalam hati masing-masing, tidak hanya karena makanan yang telah dinikmati, tetapi juga karena persaudaraan yang semakin erat.
Di masjid, Pakde Pri dan para pemuda itu berdiri bahu-membahu, menghadap kiblat. Mereka bersujud dan ruku bersama, dalam satu irama dan kekhusyukan. Shalat maghrib berjamaah ini bukan hanya ritual rutin, tetapi juga simbol dari kesatuan umat dan kekuatan iman yang mereka bagikan.
Ketika shalat selesai, mereka duduk sejenak, berdoa dan berdzikir. Ada kedamaian yang menyelimuti ruangan itu, seolah-olah waktu sejenak berhenti, memberikan kesempatan kepada setiap jiwa untuk berbicara dengan Sang Pencipta.