Kemenhaj dan LDII Tegaskan Pentingnya Gerakan Hijau Nasional Pasca Banjir Sumatra
Rentetan banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali membuka mata publik bahwa krisis lingkungan tidak bisa lagi dianggap sebagai fenomena musiman. Di tengah kondisi yang memprihatinkan ini, pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrah menegaskan komitmennya untuk memberikan kebijakan yang lebih manusiawi bagi warga terdampak, sembari mendorong lahirnya gerakan hijau nasional yang terarah dan berkelanjutan.
Wakil Menteri Haji dan Umrah RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyampaikan bahwa pemerintah langsung memberikan relaksasi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) serta penundaan seleksi petugas haji khusus untuk tiga provinsi tersebut.
“Kita ingin memberikan ruang bernafas yang lebih luas bagi masyarakat Aceh, Sumut, dan Sumbar. Mereka sedang berjuang memulihkan kondisi pasca bencana,” ujar Dahnil.
Ia menegaskan bahwa dukungan pemerintah tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga emosional mengingat daerah terdampak merupakan kampung halaman keluarganya.
“Aceh Tamiang itu kampung ibu saya. Tapanuli Tengah kampung bapak saya. Saya merasakan betul dampak bencana ini di tingkat keluarga,” ungkapnya.
Dahnil yang turut turun langsung bersama relawan Matahari Pagi Indonesia melihat sendiri kondisi kerusakan di lapangan, sehingga ia menilai perlu ada koreksi besar dalam pengelolaan lingkungan.
“Menjaga lingkungan itu fardhu ‘ain. Bukan pilihan, tapi kewajiban setiap warga. Ormas Islam bisa menjadi motor perubahan,” tegasnya.
LDII: Dakwah Ekologis Harus Jadi Gerakan Nasional
Dukungan terhadap gerakan hijau tersebut diperkuat oleh Ketua DPP LDII sekaligus Guru Besar IPB, Prof. Sudarsono. Ia menilai, gelombang bencana yang terjadi bukan semata peristiwa alamiah, melainkan akumulasi dari perilaku manusia yang menyepelekan lingkungan.
“Banjir dan longsor yang terjadi berturut-turut adalah sinyal keras. Alam sedang memberi peringatan,” ujar Sudarsono.
Ia menegaskan bahwa pohon merupakan “infrastruktur ekologis” yang tidak bisa digantikan.
“Pohon adalah mesin kehidupan. Ia menjaga air, udara, dan tanah. Ketika pohon hilang, bencana tinggal menunggu waktu,” jelasnya.
Dalam pandangan budaya Nusantara, lanjutnya, pohon memiliki nilai spiritual dan simbolis, sehingga merawat pohon sama saja dengan merawat kehidupan.
“Di banyak daerah adat, menanam pohon adalah upacara sakral. Tradisi itu mengajarkan bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan,” jelasnya.
Program Go Green LDII dan Rehabilitasi Lingkungan
LDII sudah menjalankan program Go Green sejak 2007 dan berhasil menanam jutaan pohon di berbagai daerah. Program tersebut terus diperluas ke sekolah, pesantren, dan komunitas akar rumput.
Salah satu pusat edukasi lingkungan yang terus berjalan adalah Bumi Perkemahan CAI Wonosalam, Jombang. Ribuan muda-mudi belajar langsung mengenai pentingnya menanam dan merawat pohon.
“Pohon yang ditanam hari ini akan menjadi pemberi oksigen, sumber air, dan penahan bencana bagi anak cucu kita. Itulah sedekah jariyah ekologis,” kata Sudarsono.
LDII juga menekankan pentingnya kerja bersama lintas sektor. Pemerintah, akademisi, pemuda, dan masyarakat harus bergerak serentak dalam rehabilitasi lahan kritis dan penguatan mitigasi bencana.
“Ketika warga menanam pohon di bantaran sungai, beberapa tahun kemudian akar pohon itu menahan tanah, banjir berkurang, dan udara menjadi sejuk. Dampaknya nyata,” pungkasnya.

