Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, memegang amanah besar untuk menjaga kelestarian alam agar tetap damai dan nyaman sebagai tempat hidup. Namun seiring meningkatnya populasi dan kebutuhan ekonomi, manusia tidak lagi hanya memanfaatkan bumi sebagai tempat tinggal, tetapi juga mengeksploitasinya secara berlebihan.
Kerusakan lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, hilangnya biodiversity, hingga perubahan iklim adalah akibat nyata keserakahan manusia. Hutan yang seharusnya menjadi penyeimbang kehidupan kini banyak yang gundul, memperbesar risiko banjir, kekeringan, dan tanah longsor.
Memang benar bahwa musibah adalah bagian dari ujian Allah. Namun Al-Qur'an menegaskan bahwa kerusakan di darat dan laut kerap muncul akibat ulah manusia sendiri.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia...” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menjadi dasar kuat bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar aktivitas sosial, melainkan kewajiban agama. Inilah esensi dari dakwah ekologis — dakwah yang berfokus pada kesadaran menjaga alam sebagai ibadah.
Amanah Khalifah: Dasar Dakwah Ekologis dalam Al-Qur'an
Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menjaga bumi, bukan merusaknya. Di antaranya:
1. Manusia sebagai khalifah
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah.” (QS. Al-Baqarah: 30)
Makna khalifah adalah pemimpin, penjaga, dan pengelola bumi dengan penuh tanggung jawab.
2. Larangan membuat kerusakan
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
3. Keseimbangan ekosistem sebagai sunnatullah
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan merusak neraca itu.” (QS. Ar-Rahman: 7–8)
Ayat-ayat ini memperkuat dasar teologis bahwa merawat lingkungan adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. Maka dakwah ekologis menjadi agenda penting untuk membangun kesadaran kolektif umat.
Musibah dan Dakwah Ekologis: Refleksi dari Banjir Besar di Sumatera
Fenomena bencana yang melanda Indonesia, termasuk banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, bukan hanya peristiwa alam, tetapi juga peringatan keras agar manusia mengoreksi cara memperlakukan alam.
Dalam konteks ini, pernyataan pemerintah turut menegaskan urgensi dakwah ekologis, terutama di tengah bencana yang dialami masyarakat.
Kementerian Haji dan Umrah RI memberikan kebijakan khusus berupa penundaan seleksi petugas haji serta relaksasi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), bagi calon jemaah haji di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Musibah banjir besar di tiga wilayah tersebut, menurut Wakil Menteri Haji dan Umrah RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, juga harus menjadi pendorong dakwah ekologis bagi ormas-ormas Islam.
Kebijakan ini tidak hanya menunjukkan empati pemerintah, tetapi juga menjadi momentum refleksi bahwa bencana harus memicu gerakan dakwah ekologis di tengah umat.
“Pendaftaran petugas itu ditunda dulu, khusus untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kita ingin memberikan ruang persiapan yang lebih matang untuk daerah-daerah terdampak,” ujar Dahnil.
“Sekaligus upaya memastikan tidak ada jamaah yang kehilangan kesempatan berangkat ke Tanah Suci akibat situasi di luar kendali mereka,” jelasnya.
Selain kebijakan itu, Dahnil juga mengungkapkan keterikatannya dengan dua wilayah tersebut, yang membuat ia tergerak untuk turun membantu.
“Aceh Tamiang itu kampung ibu saya, dulu saya bersekolah SD di situ. Sementara Tapanuli Tengah merupakan kampung bapak, saya juga pernah sekolah SMP di sana,” kenang Dahnil.
Lebih jauh, ia menegaskan kewajiban menjaga alam sebagai ibadah:
“Harus ada koreksi dari kita. Komitmen merawat alam, hutan, sungai. Saya ormas keagamaan Islam seperti LDII, Muhammadiyah, NU bisa membangun kesadaran jamaah,” ujarnya.
“Ia menegaskan menjaga lingkungan itu fardhu ‘ain bukan fardhu kifayah, maka semua orang punya tanggung jawab,” tegasnya.
Pernyataan ini memperkuat posisi dakwah ekologis sebagai kewajiban personal setiap muslim—bukan hanya aktivitas kelompok tertentu.
Dakwah Ekologis dan Lahan Kritis: Seruan Ilmiah dan Spiritual
Ketua DPP LDII sekaligus Guru Besar IPB, Prof. Sudarsono, menambahkan perspektif ilmiah yang memperkuat urgensi dakwah ekologis.
“Ini kenyataan pahit. Kondisi ini semakin nyata ketika banjir dan longsor melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,” paparnya.
“Pohon adalah mesin kehidupan. Ia menyerap karbon dioksida, menghasilkan oksigen, menjaga siklus air, dan menahan tanah agar tidak longsor. Tanpa pohon, banjir dan kekeringan akan menjadi bencana rutin,” kata Sudarsono.
Dari sudut pandang Islam, menanam pohon bahkan dihitung sebagai sedekah yang pahalanya terus mengalir.
“If a Muslim plants a tree or sows seeds, and humans, birds or animals eat from it, it is regarded as a charity for him.” (HR. Bukhari)
LDII telah menjalankan program Go Green sejak 2007 dan menanam jutaan pohon sebagai kontribusi nyata untuk menjaga lingkungan.
“Sementara dalam tradisi Nusantara, pohon bukan sekadar benda hidup, melainkan simbol kehidupan... Menanam pohon berarti menjaga hubungan spiritual dengan alam,” pungkasnya.
LDII dan Dakwah Ekologis: Implementasi Nyata dari Pesantren hingga Aksi Lapangan
Komitmen LDII terhadap dakwah ekologis diwujudkan melalui:
- Edukasi lingkungan di pesantren
- Praktik penghijauan mandiri
- Pelatihan konservasi untuk generasi muda
- Kerja sama dengan pemerintah dan swasta
- Pusat edukasi lingkungan seperti Buper Cinta Alam Indonesia Wonosalam
“Menanam pohon adalah investasi bagi generasi mendatang... pohon yang ditanam hari ini akan memberi oksigen, air, dan perlindungan bagi anak cucu.”
LDII juga mendorong kolaborasi multipihak:
“Menanam pohon adalah tindakan sederhana, tetapi dampaknya luar biasa... Pohon kecil yang dulu ditanam berubah menjadi penopang kehidupan,” tutupnya.
Dakwah Ekologis adalah Jalan Kesejahteraan Umat
Dakwah ekologis bukan sekadar program, tetapi gerakan kesadaran bahwa:
- Islam menempatkan manusia sebagai penjaga bumi
- Kerusakan lingkungan berakibat langsung pada kualitas hidup
- Merawat alam adalah bagian dari ibadah
- Ormas Islam memiliki peran strategis dalam pendidikan ekologis
- Penanaman pohon adalah sedekah jariyah yang dampaknya lintas generasi
Ketika umat Islam memahami bahwa menjaga lingkungan adalah fardhu ‘ain, maka kesejahteraan ekologis, sosial, dan spiritual akan terwujud.
Dakwah ekologis adalah jalan menuju Indonesia yang lebih hijau, sehat, dan diberkahi.


