Inovasi Sambal Terwelu: Perjalanan Bisnis Oktavian Fauzi


Inovasi Sambal Terwelu: Perjalanan Bisnis Oktavian Fauzi

Inovasi Sambal Terwelu: Perjalanan Bisnis Oktavian Fauzi, Mahasiswa IPB yang Sulap Kelinci Jadi Produk Kuliner Bernilai Tinggi

Dalam dunia wirausaha, kreativitas sering muncul dari hal-hal yang dianggap sepele. Itulah yang dialami Oktavian Fauzi, mahasiswa IPB sekaligus santri, yang berhasil mengubah daging kelinci—komoditas yang sering dianggap “kasihan”—menjadi sambal premium bernama Sambal Terwelu. Produk ini kini berkembang di bawah payung Jabon Group Nusantara, yang mengelola ekosistem peternakan kelinci dari hulu hingga hilir.

Berawal dari Tugas Ospek, Berbuah Inovasi

Vian, sapaan akrabnya, menceritakan bahwa ide sambal kelinci lahir saat ia mendapatkan tantangan bisnis pada masa orientasi kampus. Berbekal modal Rp50.000 dan fasilitas kontrakan, ia bersama timnya mencoba mengolah kelinci pedaging menjadi sambal. Tanpa diduga, produk tersebut memenangkan perlombaan internal dan mulai menarik perhatian dosen serta profesor di IPB.

“Awalnya saya sendiri ragu. Masa iya ada orang mau makan daging kelinci? Tapi setelah dicoba dan dilombakan, alhamdulillah menang. Dari situ saya serius riset,” ujar Vian.

Menemui Tantangan: Stigma ‘Kasihan’ dan Distribusi yang Minim

Salah satu tantangan terbesar dalam bisnis kelinci adalah stigma bahwa kelinci adalah hewan lucu dan tidak layak dikonsumsi. Selain itu, distribusi kelinci pedaging di Indonesia juga belum masif seperti ayam, sapi, atau kambing.

Untuk mengatasi stigma tersebut, Vian memainkan pendekatan branding dan edukasi. Ia menggunakan dua kalimat yang menjadi strategi komunikasi:

1. “Enggak semua orang makan daging kelinci.”
2. “Enggak, semua orang makan daging kelinci kok.”

Dengan mengubah tanda koma saja, kalimat tersebut membalik persepsi konsumen. Vian juga menyamarkan bentuk asli kelinci dengan membuatnya menjadi sambal siap makan agar konsumen tidak terbayang bentuk hewannya.

Membangun Ekosistem Peternakan Kelinci Nasional

Melalui Rabbit Growth Ecosystem, Vian membangun rantai usaha kelinci yang terintegrasi: mulai dari penyediaan pakan, bibit, edukasi peternak, hingga pembelian kembali daging. Jabon Group kini menggandeng lebih dari 38 mitra peternak di Bogor dan menargetkan 40 mitra pada akhir tahun.

Produk yang dikembangkan tidak hanya sambal, tetapi juga:

  • Rabbit Fresh (daging kelinci segar)
  • Bakso kelinci
  • Dimsum kelinci
  • Pakan kelinci (Rabbit CR)

Bahkan 60% produk kelinci Jabon Group didistribusikan sebagai pakan hewan peliharaan (pet food), sementara 40% sisanya dipasarkan sebagai konsumsi manusia.

Kandungan Gizi Kelinci: Tinggi Protein, Rendah Lemak

Salah satu alasan Vian yakin dengan pasar kelinci adalah kandungan gizinya. Menurut hasil penelitian dan pengalamannya sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak:

  • Protein kelinci lebih tinggi dari daging sapi.
  • Lemaknya rendah, sehingga tidak cepat menyebabkan kolesterol.
  • Dapat membantu penderita diabetes jika dikonsumsi dengan cara direbus.
  • Mengandung hormon yang dipercaya dapat meningkatkan kesuburan (berdasarkan pengalaman peternak).
“Saya gym dan bulking pakai daging kelinci. Proteinnya bagus, lemaknya rendah,” ujar Vian sambil bercanda.

Model Penjualan: Pre-Order dan Dibatasi

Berbeda dengan banyak pebisnis, Vian justru sengaja membatasi produksi. Sambal Terwelu hanya dijual maksimal 1.000 botol per bulan melalui sistem pre-order.

Tujuannya jelas: menjaga keseimbangan antara branding dan ketersediaan pasokan.

“Branding bagus tapi supply kecil berbahaya. Supply besar tapi branding lemah juga bahaya. Harus seimbang.”

Selain itu, produk tidak menggunakan pengawet. Setelah dibuka, sambal harus habis dalam 1 minggu.

Respon Konsumen dan Uji Rasa

Dalam wawancara, host mencoba Sambal Terwelu dan mengaku rasanya gurih seperti ayam kampung namun memiliki karakter unik dari aroma daging kelinci.

Sambal ini berisi 60% daging kelinci dan 40% bahan sambal. Teksturnya berupa suwiran halus yang menyatu dengan minyak dan bumbu.

Tantangan Bisnis: SDM, Mindset Peternak, dan Modal

Vian menyebut tiga tantangan besar yang saat ini ia hadapi:

  1. SDM — Banyak timnya masih mahasiswa yang harus membagi waktu antara kuliah, pesantren, dan bisnis.
  2. Mindset peternak — Banyak yang masih berorientasi UUD (ujung-ujungnya duit).
  3. Likuiditas — Bisnis ini bootstrap dari nol tanpa investor, sehingga pertumbuhan harus bertahap.

Pesan untuk Generasi Muda

Menutup sesi, Vian memberikan pesan bagi anak muda yang ingin merintis bisnis:

1. Jangan takut—lebih utamakan taat dan takwa.
2. Jangan tinggalkan doa orang tua. Itu sumber kekuatan terbesar.
3. Kalau turun ke dunia bisnis, masuklah 100%. Jangan setengah-setengah.

Ia menegaskan bahwa semua pencapaiannya bukan karena dirinya hebat, tetapi karena pertolongan Allah.

Kisah Oktavian Fauzi membuktikan bahwa inovasi bisa lahir dari komoditas yang dipandang sebelah mata. Dengan riset, ketekunan, dan keberanian menantang stigma, ia berhasil mengangkat kelinci pedaging menjadi produk bernilai ekonomi tinggi sekaligus membantu para peternak lokal.

"Inovasi adalah pembeda antara pemimpin dan pengikut" — Steve Jobs

Lebih baru Lebih lama