Merunduk dalam Kearifan Lokal: Dlosor, Filosofi Jawa yang Mengangkat Derajat

TANGERANG SELATAN. Lebih dari sekadar posisi duduk, "dlosor" dalam budaya Jawa mengandung filosofi mendalam tentang kerendahan hati, keselarasan, dan kesadaran diri di hadapan Sang Pencipta. Ia adalah seni menundukkan ego tanpa kehilangan martabat, sebuah kebijaksanaan yang relevan di tengah hiruk pikuk dunia modern.

Makna Filosofis Dlosor dalam Budaya Jawa

Dalam budaya Jawa, dlosor bukan sekadar duduk di lantai. Lebih dari itu, dlosor adalah sebuah laku batin yang mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran diri.

Dalam budaya Jawa, kata dlosor terdengar begitu sederhana—sekadar duduk menempel lantai, menunduk, atau merebahkan diri ke bumi. Namun di balik makna lahiriahnya, dlosor menyimpan samudra hikmah. Ia bukan sekadar posisi tubuh, melainkan cermin laku batin: merendah, andhap asor, dan membumi. Dlosor adalah seni menundukkan hati tanpa kehilangan harga diri; ia mengajarkan harmoni dalam hubungan antarmanusia dan kesadaran akan tempat kita di hadapan Sang Pencipta.

Para leluhur Jawa menanamkan kebijaksanaan ini dalam ungkapan "papan, empan, adepan" – tahu tempat, tahu cara, dan tahu waktu. Orang yang memahami dlosor tidak meninggikan diri di atas orang lain, tetapi juga tidak merendahkan martabatnya.

Dlosor dalam Perspektif Islam: Antara Amal dan Kekhawatiran

Warisan spiritual Islam juga mengajarkan pentingnya kerendahan hati, bahkan setelah berbuat kebaikan. Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang makna ayat Al-Qur'an yang menyebutkan tentang orang-orang yang beramal namun hati mereka tetap merasa takut.

Ketika Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang makna ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, sedang hati mereka takut (tidak diterima)” (QS. Al-Mu’minun:60), Beliau menjawab:”Bukan mereka yang mencuri atau berbuat dosa, wahai putri Ash-Shiddiq, melainkan mereka yang rajin shalat, berpuasa, dan bersedekah, sementara hati mereka khawatir amalnya tak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan dan berlomba-lomba melakukannya.” (HR. Ahmad).

Teladan Rasulullah ﷺ: Kesederhanaan dalam Keseharian

Rasulullah ﷺ, sebagai pemimpin umat, memberikan contoh nyata tentang dlosor dalam kehidupan sehari-hari.

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad)

Dlosor: Kekuatan dalam Kerendahan Hati

Pepatah Jawa "endhog pecah dadi manuk, watu pecah dadi kerikil" menggambarkan bahwa kerendahan hati justru dapat menumbuhkan kekuatan. Semakin seseorang merendah, semakin ia mampu membangun hubungan yang sehat dan menebar kebaikan.

Tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya. (HR. Muslim).

Implementasi Dlosor dalam Kehidupan Modern

Dlosor bukan berarti minder atau rendah diri, melainkan seni merendah tanpa merasa rendah. Ia hadir dalam berbagai bentuk: tetangga yang rela duduk lesehan bersama warga, pemimpin yang mau mendengar keluh kesah rakyat, atau sahabat yang memilih diam demi menjaga perasaan orang lain.

Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya. (HR Al-Bukhari)

Dalam dunia yang serba kompetitif, dlosor mengajarkan kita untuk tidak hanya fokus pada pencapaian diri, tetapi juga pada bagaimana kita dapat memberikan manfaat bagi orang lain. Ia adalah jalan hidup yang menyadarkan kita bahwa manusia, sehebat apapun, tetaplah hanya bagian kecil dari alam semesta.

Lebih baru Lebih lama