
JAKARTA. Semangat pertempuran Surabaya yang menjadi tonggak Hari Pahlawan 10 November, harus terus menggelora sebagai inspirasi membangun bangsa, melawan kemiskinan, kebodohan, dan dekadensi moral. Heroisme arek-arek Suroboyo menjadi pengingat bahwa bangsa Indonesia pernah dengan gagah berani melawan Inggris, yang kala itu ingin mengembalikan kekuasaan Belanda.
Hari Pahlawan: Refleksi Semangat Perjuangan dan Nasionalisme
Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, menegaskan pentingnya generasi muda dalam menjaga semangat perjuangan para pahlawan. Menurutnya, Hari Pahlawan bukan hanya sekadar seremoni belaka, tetapi momentum penting untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan rela berkorban.
Mempelajari sejarah, berarti mempelajari jati diri bangsa agar semakin percaya diri menghadapi tantangan zaman, terutama dalam membangun kemandirian, persatuan, dan moral kebangsaan.
KH Chriswanto juga menekankan bahwa perjuangan di era globalisasi dan digitalisasi ini berbeda dengan masa lalu. Medan perjuangan kini bergeser ke ranah sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan akhlak.
Sekarang kita berjuang melawan kemiskinan, kebodohan, dan disintegrasi. Bentuk kepahlawanan masa kini adalah berkontribusi positif di bidang masing-masing, menjaga persatuan, dan menguatkan nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Internalisasi Nilai Perjuangan dalam Pendidikan
KH Chriswanto berkomitmen untuk menanamkan semangat nasionalisme dan keikhlasan berjuang pada generasi muda melalui berbagai kegiatan dakwah, pendidikan karakter, dan pengabdian masyarakat.
Kami berkomitmen menanamkan semangat nasionalisme dan keikhlasan berjuang pada generasi muda melalui kegiatan dakwah, pendidikan karakter, dan pengabdian masyarakat. Kita ingin melahirkan pahlawan masa kini yang berilmu, berakhlak, dan berdedikasi.
Sejarawan LDII: Makna Hari Pahlawan Lebih dari Sekadar Pertempuran
Sejarawan sekaligus Ketua DPP LDII, Singgih Tri Sulistiyono, menambahkan bahwa Hari Pahlawan 10 November bukan hanya sekadar peringatan pertempuran Surabaya, melainkan momentum lahirnya kesadaran kolektif bangsa tentang arti kemerdekaan yang diperjuangkan melalui pengorbanan dan solidaritas.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (UNDIP) itu menilai, generasi muda harus memaknai Hari Pahlawan tidak lagi terletak pada perjuangan fisik, melainkan keberanian moral untuk berjuang di bidangnya masing-masing.
Kalau dulu perjuangan dilakukan dengan senjata, kini perjuangan adalah melawan kemalasan berpikir, korupsi nilai, dan hilangnya idealisme.
Menghadapi Penjajahan Nilai di Era Globalisasi
Singgih juga mengingatkan bahwa generasi muda kini menghadapi bentuk perjuangan baru di era kemerdekaan dan globalisasi, yaitu penjajahan nilai seperti individualisme dan pragmatisme.
Esensinya tetap sama, yakni keberanian, pengabdian, dan cinta tanah air. Hanya bentuknya yang berubah—dari mengangkat senjata menjadi perjuangan dengan pengetahuan, kreativitas, dan integritas moral.
Ia juga menekankan pentingnya keberanian moral dan solidaritas kebangsaan, serta mengajak seluruh elemen bangsa untuk menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam melawan berbagai permasalahan sosial.
Keberanian moral masa kini adalah keberanian menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Semangat gotong royong juga harus dihidupkan untuk melawan korupsi, perpecahan, dan ketidakadilan sosial.
Singgih menutup pesannya dengan menyerukan agar semangat 10 November dihidupkan kembali dalam bentuk etika publik dan komitmen kebangsaan.