Perbaikan RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah: 10 Poin Usulan LDII
Jakarta (21/8). Panitia Kerja (Panja) Haji Komisi VIII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah ormas Islam terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
“Sorotan Komisi VIII yang pertama adalah pelayanan. Mulai tahun 2026, pelayanan haji akan dipegang langsung oleh Badan Penyelenggara Haji. Dengan adanya konsep Kampung Haji, kita ingin melakukan perbaikan secara menyeluruh,”
— Singgih Januratmoko, Ketua Panja Haji dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI
10 Poin Usulan LDII
LDII menyoroti panjangnya masa tunggu haji di beberapa daerah yang bisa mencapai lebih dari 30 tahun. Pemerintah perlu merumuskan skema tambahan kuota, skema haji khusus, atau kerja sama bilateral dengan Arab Saudi atau negara lain agar daftar tunggu dapat dipersingkat.
“Regulasi tentang alokasi kuota dan tambahan kuota antara haji regular dan haji khusus harus diperjelas dan dipertegas. Sehingga tidak ada lagi celah praktik jual-beli kuota diantara Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) baik kuota resmi maupun kuota tidak resmi dan penggunaan visa selain visa haji,”
Revisi UU harus memperkuat transparansi, perlindungan jamaah, tata kelola keuangan, dan peningkatan kualitas layanan. Laporan berkala tentang pengelolaan dana haji sangat diperlukan.
“Seperti yang telah kami usulkan dalam RDPU terkait RUU Perubahan UU 34/2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pada 6 Maret 2025 yang lalu. Hal ini untuk menghindari pertanyaan publik mengenai pengelolaan, imbal hasil investasi dan penggunaan dana haji serta memperkuat kepercayaan jamaah dan masyarakat,”
LDII mendorong regulasi yang jelas terkait prioritas keberangkatan bagi jamaah lanjut usia, disabilitas, dan yang sudah lama menunggu dengan sistem kuota khusus.
Pemanfaatan aplikasi real-time dan user-friendly untuk pendaftaran, pelunasan, manasik, serta laporan perjalanan jamaah dapat meningkatkan efisiensi dan mencegah praktik percaloan.
“Keempat, LDII mendorong optimalisasi digitalisasi melalui penggunaan aplikasi yang real time, komprehensif, user friendly, dan terintegrasi untuk pendaftaran, pelunasan, manasik haji dan umrah, pencarian informasi, menyampaikan keluhan dan masukan, hingga pelaporan perjalanan. Hal ini untuk meminimalkan praktik percaloan, pungli, menangkap keluhan dan masukan jamaah untuk perbaikan ke depan, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas layanan,”
Memperketat syarat perizinan, pengawasan, mekanisme sanksi, dan tuntutan hukum untuk menghindari penipuan, penggelapan, overbooking, dan penelantaran jamaah.
Pemerintah sebaiknya memiliki lembaga setingkat kementerian khusus menangani haji dan umrah demi profesionalisme dan kenyamanan jamaah.
“Yang keenam, pemerintah harus memperkuat kelembagaan penyelenggara haji sehingga fokus dalam mengurusi segala sesuatunya demi keadilan, kenyamanan, kelancaran jamaah dan profesionalisme penyelenggaraan haji dan umrah. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, seharusnya Indonesia pantas memiliki lembaga setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden yang fokus untuk mengurusi ibadah haji dan umrah,”
LDII menekankan akomodasi, transportasi, konsumsi, bimbingan ibadah, dan pelayanan kesehatan wajib dipenuhi penyelenggara untuk kesejahteraan jamaah.
Menyiapkan mekanisme hukum cepat bagi jamaah yang dirugikan agar tidak terhambat oleh proses hukum panjang dan mahal.
Jamaah wajib dilindungi asuransi jiwa, kesehatan, dan perjalanan berbasis syariah agar merasa aman selama ibadah.
“Integrasi dengan asuransi dan jaminan sosial menjadi poin kesembilan yang disampaikan LDII. Ia berharap, setiap jamaah wajib dilindungi oleh asuransi jiwa, kesehatan, dan perlindungan perjalanan yang standar, berbasis syariah, dan terjangkau. Hal ini untuk memberikan rasa aman, dan jaminan keselamatan, mengingat risiko kesehatan cukup tinggi saat ibadah haji dan umrah,”
Pendidikan manasik wajib berbasis kurikulum nasional dengan simulasi digital atau virtual reality untuk kesiapan mental, fisik, dan spiritual jamaah.
“Adapun poin terakhir adalah penguatan pendidikan manasik. Kami mendorong kewajiban manasik ibadah haji dan umrah berdasarkan standar kurikulum nasional, termasuk simulasi digital dengan menggunakan aplikasi dan atau virtual reality (VR). Manasik ini akan membekali jamaah agar lebih siap secara mental, fisik, dan spiritual dalam menjalankan ibadah,”
Tags: RUU Haji, RUU Umrah, LDII, pelayanan haji, transparansi dana haji, manasik haji, kuota haji, regulasi haji, asuransi haji, jamaah haji, digitalisasi haji, hukum haji
