LDII: Perkuat Nilai Kebangsaan di Era Multipolar

LDII menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Jakarta (22-24 Agustus 2025), menghasilkan komitmen memperkuat nilai-nilai kebangsaan di tengah gejolak geopolitik global.

Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, menegaskan, “Geopolitik dan geoekonomi yang makin multipolar harus disikapi dengan pilihan politik bangsa Indonesia. Sejak Republik ini berdiri, Indonesia menerapkan prinsip bebas aktif. Kami mendukung upaya-upaya pemerintah yang aktif mengupayakan perdamaian dunia dan perbaikan kesenjangan ekonomi global dalam berbagai forum-forum internasional.” Rakornas ini juga diisi Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) menghadirkan narasumber Dahnil Anzar Simanjuntak, TB. Ace Hasan Syadzily, Reda Manthovani, dan Singgih Tri Sulistiyono.

Dahnil Anzar Simanjuntak menekankan ancaman terhadap kedaulatan negara tak hanya militer, tetapi juga non-militer seperti krisis pangan, energi, dan air bersih. “Pertahanan bukan cuma soal tank dan senjata. Kalau kita kalah di pangan, energi, dan teknologi, kita bisa kalah tanpa perang,” ujarnya, seraya mencontohkan kesiapan AS dan Eropa menghadapi krisis pangan 2035 berdasarkan survei The Economist 2018. Senada, Kepala Lemhannas TB. Ace Hasan Syadzily menekankan pentingnya kemandirian pangan, energi, dan industri nasional. “Indonesia sangat beruntung karena kaya sumber daya alam dan memiliki bonus demografi. Namun tantangannya adalah bagaimana mengelola potensi tersebut agar mandiri, tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain,” ungkapnya. Ace juga membahas dampak konflik regional, menyinggung pernyataan Presiden Prabowo terkait pengakuan Israel. Ia menambahkan, dunia kini bergerak ke tatanan polisentris, di mana berbagai faktor, termasuk soft power dan opini publik digital, menentukan dinamika global.

Singgih Tri Sulistiyono menyoroti erosi kedaulatan melalui pasar bebas dan neoliberalisme, mengingatkan krisis moneter 1997-1998. Ia juga memperingatkan fragmentasi identitas akibat teknologi digital dan disonansi antara harapan rakyat dan kebijakan negara, mengatakan, “Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis kebangsaan, yang memicu pemikiran the end of the national state. Ketidakpercayaan terhadap negara bisa mengancam keberlanjutan NKRI,” tegasnya. Ia menekankan peran strategis Pancasila untuk mewujudkan "Kebangkitan Nasional 2.0".

"description": "LDII berkomitmen memperkuat nilai kebangsaan di tengah gejolak global. Rakornas LDII bahas ancaman non-militer, kemandirian ekonomi, dan pentingnya Pancasila dalam menghadapi era multipolar.",

"articleBody": "LDII menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Jakarta (22-24 Agustus 2025), menghasilkan komitmen memperkuat nilai-nilai kebangsaan di tengah gejolak geopolitik global. Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, menegaskan, “Geopolitik dan geoekonomi yang makin multipolar harus disikapi dengan pilihan politik bangsa Indonesia. Sejak Republik ini berdiri, Indonesia menerapkan prinsip bebas aktif. Kami mendukung upaya-upaya pemerintah yang aktif mengupayakan perdamaian dunia dan perbaikan kesenjangan ekonomi global dalam berbagai forum-forum internasional.” Rakornas ini juga diisi Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) menghadirkan narasumber Dahnil Anzar Simanjuntak, TB. Ace Hasan Syadzily, Reda Manthovani, dan Singgih Tri Sulistiyono. Dahnil Anzar Simanjuntak menekankan ancaman terhadap kedaulatan negara tak hanya militer, tetapi juga non-militer seperti krisis pangan, energi, dan air bersih. “Pertahanan bukan cuma soal tank dan senjata. Kalau kita kalah di pangan, energi, dan teknologi, kita bisa kalah tanpa perang,” ujarnya, seraya mencontohkan kesiapan AS dan Eropa menghadapi krisis pangan 2035 berdasarkan survei The Economist 2018. Senada, Kepala Lemhannas TB. Ace Hasan Syadzily menekankan pentingnya kemandirian pangan, energi, dan industri nasional. “Indonesia sangat beruntung karena kaya sumber daya alam dan memiliki bonus demografi. Namun tantangannya adalah bagaimana mengelola potensi tersebut agar mandiri, tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain,” ungkapnya. Ace juga membahas dampak konflik regional, menyinggung pernyataan Presiden Prabowo terkait pengakuan Israel. Ia menambahkan, dunia kini bergerak ke tatanan polisentris, di mana berbagai faktor, termasuk soft power dan opini publik digital, menentukan dinamika global. Singgih Tri Sulistiyono menyoroti erosi kedaulatan melalui pasar bebas dan neoliberalisme, mengingatkan krisis moneter 1997-1998. Ia juga memperingatkan fragmentasi identitas akibat teknologi digital dan disonansi antara harapan rakyat dan kebijakan negara, mengatakan, “Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis kebangsaan, yang memicu pemikiran the end of the national state. Ketidakpercayaan terhadap negara bisa mengancam keberlanjutan NKRI,” tegasnya. Ia menekankan peran strategis Pancasila untuk mewujudkan \"Kebangkitan Nasional 2.0\".",

Lebih baru Lebih lama