Media sosial saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak-anak. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur malam, tidak sedikit anak yang menghabiskan waktu mereka dengan menonton video di YouTube, scrolling TikTok, atau melihat konten lucu di Instagram Reels. Namun di balik kemudahan akses ini, tersembunyi sebuah pertanyaan besar: sejauh mana tontonan di media sosial mempengaruhi karakter anak-anak kita?
Mengenal Dunia Anak di Era Digital
Anak-anak usia 6 hingga 12 tahun berada pada masa pertumbuhan yang penting dalam membentuk kepribadian, sikap, dan nilai moral. Di fase ini, mereka mulai memahami konsep benar dan salah, mulai meniru perilaku orang dewasa, dan membentuk pandangan tentang dunia di sekitar mereka.
Namun, yang menarik adalah: tokoh panutan anak zaman sekarang bukan lagi hanya guru, orang tua, atau tetangga yang dihormati. Kini, mereka juga belajar dari YouTuber, kreator TikTok, atau selebgram—yang mungkin belum tentu paham dampak jangka panjang dari konten yang mereka buat.
Konten: Antara Edukasi dan Eksploitasi
Tidak semua konten di media sosial berdampak negatif. Banyak kanal edukatif di YouTube yang mengajarkan ilmu pengetahuan, nilai kejujuran, bahkan etika sosial dengan cara yang menyenangkan. Ada pula video animasi yang menanamkan nilai-nilai sopan santun dan empati dengan bahasa anak.
Namun tantangannya adalah: konten hiburan jauh lebih menarik secara visual dan sering kali lebih “menggoda.” Video prank, tantangan ekstrem, atau bahkan konten kekerasan terselubung banyak dikonsumsi tanpa pengawasan. Dalam banyak kasus, anak-anak meniru apa yang mereka tonton tanpa memahami konteks atau akibatnya.
Contohnya, ketika seorang anak meniru prank dari TikTok yang menjahili temannya secara berlebihan, ia mungkin menganggapnya lucu karena ditonton ribuan orang. Padahal, yang ditiru bukan sekadar aksi, tapi cara berpikir.
Teori Cultivation: Media Sebagai "Pendidik Kedua"
George Gerbner, seorang tokoh penting dalam studi media, pernah memperkenalkan teori Cultivation. Intinya, Gerbner menyatakan bahwa paparan media secara terus-menerus bisa "menanamkan" cara pandang tertentu dalam pikiran seseorang. Jika seseorang—termasuk anak-anak—selalu melihat kekerasan atau candaan kasar di media, maka ia akan menganggapnya sebagai hal yang normal.
Dalam konteks anak-anak, ini sangat penting. Media sosial bisa menjadi guru kedua, bahkan kadang yang utama, jika anak lebih sering berinteraksi dengan layar ketimbang dengan orang dewasa di sekitarnya. Maka, nilai yang ditanam media bisa membentuk karakter jangka panjang.
Bahaya Tanpa Pendampingan
Salah satu tantangan terbesar hari ini adalah minimnya pendampingan saat anak menonton. Banyak orang tua yang menyerahkan gadget pada anak sebagai “pengganti pengasuh,” tanpa membimbing atau menyaring apa yang ditonton.
Tanpa pendampingan, anak bisa terbiasa menonton konten kekerasan ringan, bercandaan yang tidak sopan, atau ekspresi emosional yang meledak-ledak. Efeknya mungkin tidak langsung terlihat, tapi dalam jangka panjang bisa membentuk karakter yang permisif terhadap kekerasan, kurang empati, atau tidak menghargai privasi orang lain.
Langkah Nyata untuk Orang Tua dan Guru
-
Jadilah Teman Menonton
Menemani anak saat menonton adalah cara paling sederhana namun efektif untuk membimbing mereka memahami konten secara kritis. Tanyakan pendapat anak setelah menonton: apakah itu baik, lucu, atau menyakiti orang lain? -
Kurasi Konten
Pilih channel atau akun yang memberikan nilai positif. Ajak anak mengikuti kreator yang konsisten memberikan pesan moral, edukasi, atau kreativitas yang sehat. -
Latih Literasi Media Sejak Dini
Ajarkan anak untuk tidak langsung percaya atau meniru semua yang dilihat. Bangun sikap kritis sejak dini agar mereka tidak menjadi penonton pasif. -
Batasi Waktu dan Variasi Aktivitas
Media sosial bukan satu-satunya sumber hiburan. Perbanyak interaksi nyata, bermain di luar, dan kegiatan bersama keluarga agar anak mengenal dunia yang lebih luas dari sekadar layar ponsel.
Anak Belajar dari Apa yang Mereka Lihat
Anak adalah peniru yang ulung. Apa yang mereka lihat secara berulang di media sosial perlahan-lahan akan mereka tiru, lalu menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi bagian dari kepribadian mereka.
Tugas kita sebagai orang dewasa bukan hanya membatasi, tapi juga membimbing. Media sosial bisa menjadi ladang emas pembelajaran jika digunakan dengan bijak. Namun tanpa pendampingan, media bisa menjadi cermin buram yang menyesatkan anak dalam melihat dunia.
Dalam dunia digital yang serba cepat ini, membentuk karakter anak menjadi pribadi yang santun, jujur, dan penuh empati adalah tantangan yang nyata. Dan kuncinya terletak di tangan kita—orang dewasa di sekeliling mereka.