Harta Tiada Abadi: Dari Titipan Berbuah Jariyah

Harta Tiada Abadi: Dari Titipan Berbuah Jariyah


Udara pagi berembus lembut membawa wangi tanah basah usai hujan, seorang lelaki tua bernama Mbah Amir duduk termenung di beranda gubuk sederhana miliknya. Matanya menerawang jauh, seolah menerawang ke masa depan yang tak pasti. Pikirannya berkelindan pada harta yang telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun, hasil jerih payah dan keringat yang membasahi hidupnya.

Namun, di balik kepemilikan itu, Mbah Amir teringat akan hadis Rasulullah SAW yang pernah ia baca, "Amalan anak adam akan terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orang tuanya." Ucapan itu seakan menusuk benak Mbah Amir, membuatnya menyadari hakikat kepemilikan yang fana.

Harta, seberapa pun banyaknya, tak ubahnya titipan Allah SWT. Kita sebagai manusia tak pernah benar-benar memilikinya, hanya diamanahkan untuk dijaga dan dimanfaatkan selama hidup. Kepemilikan sejati hanya milik Sang Pencipta, dan kelak ketika ajal menjemput, semua harta itu akan kembali kepada-Nya.

Lalu, bagaimana agar harta yang fana tersebut bisa berbuah amal jariyah yang terus mengalir pahalanya meski raga telah tiada? Sedekah, itulah kuncinya. Setiap kebaikan yang diikhlaskan, seperti membangun masjid, menyantuni anak yatim, atau membantu pembangunan sarana pendidikan, akan terus mendatangkan pahala meski pelakunya telah tiada.

Mbah Amir tersadar bahwa ia tak ingin terjebak dalam kepemilikan duniawi yang semu. Ia tak ingin terlena oleh harta yang akan ditinggalkannya nanti. Ia ingin harta yang dimilikinya menjadi penolong kelak di akhirat, menjadi jalan menuju ridha Allah SWT.

Dengan niat tulus, Mbah Amir mulai mengalokasikan sebagian hartanya untuk sedekah jariyah. Ia membangun sebuah madrasah di desa tempat tinggalnya, berharap ilmu yang diakses dari sana menjadi amal kebaikan yang terus mengalir. Ia juga ikut berdonasi untuk renovasi masjid, berharap setiap lantunan ayat suci di sana turut membawa pahala baginya.

Kebahagiaan Mbah Amir bertambah ketika melihat madrasah dipenuhi anak-anak yang haus ilmu. Melihat kubah masjid yang berkilau setelah direnovasi, ia yakin kelak akan menjadi saksi kebaikannya di hadapan Allah SWT. Hatinya terasa lapang, beban kepemilikan duniawi terangkat, digantikan oleh ketenangan dan harapan akan pahala yang tiada henti.

Kisah Mbah Amir hanyalah sepenggal gambaran tentang bagaimana harta yang fana bisa diubah menjadi amal jariyah yang abadi. Ia menyadari bahwa kehidupan ini tak melulu tentang mengumpulkan harta, namun bagaimana memanfaatkan titipan tersebut untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Maka, marilah kita renungkan bersama. Harta yang kita miliki hanya sementara, namun jejak kebaikan yang kita tinggalkan bisa bersinar selamanya. Mari wujudkan harta menjadi jariyah, agar hidup kita tak sekedar bernapas, tapi juga meninggalkan makna yang tak lekang dimakan waktu.


Post a Comment

Previous Post Next Post