Surabaya - SURYA- Geliat Asa di Liponsos Eks-penderita Kusta Surabayaliat Asa di Liponsos Eks-penderita Kusta Surabaya. Sebelum menapaki lembah derita, Mukrim, 54, adalah pria yang hidup serbaberkecukupan. Bintik putih di pipi itu mendadak merenggut kebahagiaan. Harta benda ludes. Bahkan, istri pun meninggalkannya. Namun, dia mencoba untuk bangkit, dengan berdagang dan menjadi ulama.
Hari-hari Mukrim dipenuhi dengan jadwal pengiriman barang dagangan. Mau bertemu harus buat janji beberapa hari sebelumnya. Toko pakaian Mukrim di Pasar Sore Manukan ramai oleh pengunjung. Untuk sehari-hari dia dibantu dua pegawainya.
Berdagang bukan hal asing bagi lelaki kelahiran Desa Blimbing, Kecamatan Paciran, Lamongan, ini. Lama sebelum sakit, dia memiliki toko sembako yang dikelola bersama istrinya.
Kisah hidupnya tidak jauh beda dengan penghuni liponsos lainnya. Terpisah dari keluarga dari desa asal dan mengalami perceraian. Semua berawal dari bintik putih sebesar uang logam Rp 100 di pipinya.
“Tidak pernah terasa sakit sampai pada 1982, bintik putih itu berubah menjadi merah,” ucapnya pelan. Sempat dia berobat ke puskesmas dan dinyatakan sembuh. Mukrim pun jadi lengah dengan tidak minum obat secara teratur. Kesembronoan itulah yang justru membuat penyakitnya bertambah parah.
Rumor penyakit kustanya sudah merebak di seluruh desa. Perlahan-lahan usaha dagang sembako dan kios Jamu Sido Muncul yang laris ditinggal pelanggan. Sekejap, sumber mata pencahariannya hilang begitu saja.
Hubungan Mukrim dengan istri jadi tidak harmonis lagi.
Hanya Laili, 30, anak Mukrim satu-satunya, yang tidak pernah mau berpisah. Laili selalu minta tidur bersama sang ayah, walaupun luka di tubuh Mukrim semakin parah. Kerap pulang sekolah TK, Laili yang masih berusia lima tahun menghampiri Mukrim dengan mata basah. Dia menangis karena olokan teman-teman di sekolah. Mereka bilang tidak usah ke rumah Laili, nanti bisa tertular penyakit ayahnya.
“Saya sendiri sering dengar cemoohan orang. Ada yang bilang seperti Togog atau apalah. Laili jadi tidak kerasan dan pindah ke rumah saudara di Surabaya,” tutur Mukrim.
“Orang kampung pun jadi ngeri melihat saya. Sampai saya memutuskan berobat jauh dari rumah, saya ingin sehat dan melihat anak saya besar,” ucap Mukrim. Tempat yang dituju adalah RS Nganget, Tuban. Mukrim kos di perkampungan berjarak 60 meter dari RS. Otomatis dia terpisah dari istri di Lamongan yang membuat hubungan semakin buruk. Hingga perceraian tidak bisa dielakkan lagi pada awal 1990-an.
Memasuki 1991, Mukrim dinyatakan sembuh dari penyakit kusta tipe basah atau Lepromatousa (L). Bukannya kembali ke Lamongan, dia malah memilih tinggal di Surabaya. Hidup tak tentu sempat dialaminya. “Sepanjang waktu saya selalu berpikir harus berusaha yang terbaik dalam hidup,” tegasnya.
Kehidupan berubah saat dia berkesempatan jadi tukang becak di Surabaya. Becak dia peroleh dengan sisa uang simpanan. Pendapatan harian sebagai tukang becak dikumpulkan setiap hari sampai cukup untuk membeli becak lagi. Begitu selanjutnya, sampai Mukrim jadi juragan becak.
Nah, uang dari usaha becaknya dikumpulkan lagi. Ingin mencoba lahan baru, Mukrim membeli beberapa ekor kambing untuk dipelihara. Atas kehendak Tuhan, usaha ini berhasil juga. Mukrim punya status baru, sebagai juragan kambing.
Di tengah usaha kambingnya, Mukrim kadang menjadi pengirim pakaian ke beberapa toko. Setelah usaha kambing berjalan baik, konsentrasinya kini beralih pada toko pakaian. Sampai dia memiliki satu toko di Pasar Sore Manukan. Omzetnya tidak main-main, dalam satu bulan bisa mencapai Rp 9 juta - Rp14 juta. Berlipat menjadi Rp 60 juta - Rp 80 juta saat Ramadan dan Lebaran. Sesekali Mukrim menjadi makelar rumah dengan komisi 2,5 persen.
Istri kedua yang sesama mantan penderita kusta juga tidak tinggal diam. Dia berjualan kebutuhan pokok di liponsos. Mengutip perkataan Kamiran, tidak banyak lijo (orang berjualan sayur dengan motor) mau datang ke liponsos. Ada satu penjual itu pun selalu membawa sayuran sisa. Kangkung tinggal seikat, tahu dua potong, ayam setengah kilo, dan bumbu yang sudah kocar-kacir tidak karuan.
Sosok Mukrim memang tidak bisa diam. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) Jatim. “Waktu di Permata tugas saya mencari penderita yang masih terkurung di rumah atau tidak mau keluar. Semua didukung Yayasan Kusta Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, dia juga aktif di organisasi keagamaan, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Mukrim bukan sembarang orang di sini, dia menjadi koordinator LDII yang membawahi sekitar 400 umat. Rutin mengisi pengajian setiap malam Senin dan Kamis. /Marta Nurfaidah