
[Babilonia] Nabi Ibrahim, dengan keberanian tauhidnya, bukan hanya menghancurkan berhala fisik di tanah Babilonia, tetapi juga menumbangkan berhala dalam hati manusia: rasa takut, kecintaan dunia, dan ketergantungan selain kepada Allah.
Kisah Masa Kecil dan Pencarian Tuhan
Kisah Nabi Ibrahim, yang pertama kali didengar saat SD dari seorang guru agama dadakan bernama Pak Salamun, membekas indah dan heroik.
Cerita dibawakan dengan ringan. Sebelum jam pulang sekolah. Begitu bercerita, semua anak terdiam. Bengong, mendengarkan dengan khusyuk. Hal baru yang begitu indah. Menggugah. Gaya ceritanya asik. Intonasinya masuk. Suasanya mendukung. Pokoknya pas segalanya. Hasilnya, membekas dalam. Mendarah-daging. Heroik. Indah di mana-mana. Laksana box office. Bayangan yang wah; sempurna.
Lahir di tengah kerajaan besar Babilonia yang dipimpin Raja Namrud, Ibrahim kecil tumbuh di lingkungan yang dipenuhi patung berhala. Ayahnya, Azar, adalah seorang pembuat patung. Namun, hati Ibrahim dipenuhi tanya, melihat manusia menyembah benda mati. Pencarian akan Tuhan yang sejati membawanya merenungi alam semesta.
Di malam hari, ia menatap bintang lalu berkata, “Inikah Tuhanku?” Namun bintang itu tenggelam. Ia memandang bulan, lalu matahari, tapi semua berganti dan redup. Timbul-tenggelam. Hingga akhirnya ia berkata sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-An‘am: 79)
Menghancurkan Berhala dan Ujian Keimanan
Ketika Ibrahim tumbuh dewasa, ia menyaksikan kaumnya larut dalam penyembahan berhala. Tindakan beraninya menghancurkan berhala di kuil menjadi titik balik.
Suatu hari, saat penduduk kota keluar untuk merayakan pesta tahunan, ia masuk ke kuil mereka. Ia pandangi patung-patung besar itu — benda bisu yang dihiasi emas dan perhiasan — lalu ia hancurkan semuanya kecuali yang paling besar. Diletakkannya kapak di leher berhala terbesar itu. Tatkala kaum itu kembali dan marah, mereka bertanya: “Siapa yang melakukan ini terhadap tuhan-tuhan kami?”Ibrahim menjawab dengan sindiran yang tajam, “Patung besar itu, tanyakan saja padanya jika ia dapat berbicara.”
Jawaban Ibrahim menampar kesadaran mereka, namun kesombongan membutakan hati. Mereka bersekongkol untuk menghukum Ibrahim dengan membakarnya hidup-hidup. Api yang dahsyat dinyalakan, namun Allah SWT memerintahkan:
قُلْنَا يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَۙ
Kami (Allah) berfirman, “Wahai api, jadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya: 69)
Mukjizat Api yang Dingin
Api yang seharusnya membakar, justru menjadi sejuk dan menyelamatkan Ibrahim. Mukjizat ini bukan hanya peristiwa luar biasa, tetapi juga pesan abadi tentang keteguhan tauhid.
Imam Mujahid berkata, “Sekiranya Allah tidak berfirman ‘keselamatan’, niscaya api itu akan terlalu dingin hingga membinasakannya. ” Sementara Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Dingin api itu bukan karena alam, melainkan karena izin Tuhan yang menundukkan panas bagi kekasih-Nya.”
Pelajaran dari Kisah Ibrahim
Kisah Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa iman sejati menuntut keberanian untuk berbeda dan teguh pada kebenaran, meski menghadapi ujian berat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap orang yang menegakkan tauhid pasti diuji sebagaimana Ibrahim diuji; api yang membakarnya bisa berupa celaan, tekanan, atau kesendirian di jalan kebenaran.”
Api dunia memang panas, tetapi lebih panas lagi adalah api syirik dan kemunafikan dalam hati. Barang siapa berpegang teguh pada tauhid, Allah akan menjadikan setiap ujian menjadi sejuk dan membawa keselamatan.
The post Api Dingin appeared first on Lembaga Dakwah Islam Indonesia.