Mangrove: Benteng Pesisir, Lumbung Pangan, dan Garda Terdepan Mitigasi Iklim Indonesia

[JAKARTA] Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang di dunia (108.000 km) dan hutan mangrove terluas (3,44 juta ha), menghadapi tantangan serius: hilangnya lebih dari separuh luas mangrove akibat alih fungsi lahan. Padahal, mangrove bukan sekadar pohon tepi laut, melainkan benteng alami, rumah bagi ribuan spesies, dan penopang ketahanan pangan nasional.

Mangrove: Penjaga Pesisir dan Pengendali Bencana

Mangrove, dengan akarnya yang kokoh, adalah perisai alami yang menahan abrasi, mencegah intrusi air laut, dan melindungi desa pesisir dari terjangan gelombang ekstrem.

Pepohonan mangrove, dengan akar yang kuat bekerja seperti benteng alami yang menahan abrasi dan badai, mencegah intrusi air laut, serta melindungi desa pesisir dari gelombang ekstrem. Dalam konteks perubahan iklim yang meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem, mangrove menjadi garis pertahanan pertama bagi masyarakat pesisir. Fungsinya mencerminkan implementasi nyata Sustainable Development Goal/SDG 13 karena mengurangi risiko bencana sekaligus menjaga keberlangsungan hidup jutaan orang di wilayah pantai.

Dalam era perubahan iklim yang memicu cuaca ekstrem, keberadaan mangrove menjadi krusial sebagai garda terdepan bagi masyarakat pesisir, merealisasikan Sustainable Development Goal (SDG) 13 dengan mengurangi risiko bencana.

Mangrove: Dapur Laut dan Sumber Pangan Berkelanjutan

Hutan mangrove adalah "dapur laut" tempat lebih dari 70 persen ikan laut tropis bernilai ekonomi tinggi, seperti udang dan kepiting, memulai kehidupannya.

Selain sebagai penahan bencana di pesisir yang mumpuni, hutan mangrove merupakan “dapur laut”—tempat awal mula kehidupan lebih dari 70 persen ikan laut tropis bernilai ekonomi tinggi seperti udang dan kepiting. Struktur akar rimbun menyediakan tempat berlindung dan tumbuh bagi larva ikan sebelum mereka bermigrasi ke laut lepas. Hilangnya mangrove dapat memutus rantai pangan laut, menurunkan stok ikan, dan mengancam sumber protein laut masyarakat. Dengan menjaga mangrove, berarti menjaga produktivitas perikanan dan gizi rakyat yang mendukung ketersediaan pangan dan pekerjaan layak (SDG 2 & 8)

Hilangnya mangrove mengancam rantai pangan laut, menurunkan stok ikan, dan mengancam ketersediaan protein masyarakat, sehingga menjaga mangrove sama dengan menjaga produktivitas perikanan dan gizi, selaras dengan SDG 2 dan 8.

Mangrove: Penyerap Karbon Andal dan Mitigasi Iklim

Mangrove dikenal sebagai ekosistem penyerap karbon paling efisien, bahkan hingga empat kali lipat dibandingkan hutan hujan tropis.

Mangrove dikenal sebagai salah satu ekosistem paling efisien dalam menyimpan karbon. Penelitian menunjukkan bahwa kapasitas simpan karbon mangrove bisa mencapai empat kali lipat dibandingkan hutan hujan tropis. Dengan menyerap CO₂ melalui proses fotosintesis dan mengendapkannya dalam sedimen, hutan mangrove berperan besar menekan emisi gas rumah kaca dan memperlambat perubahan iklim. Karena itu, mangrove tidak hanya penting bagi keseimbangan pesisir tetapi juga menjadi elemen kunci dalam mitigasi iklim global, sehingga berperan dalam mitigasi perubahan iklim (SDG 13).

Dengan kemampuannya menyerap CO2, mangrove berperan krusial dalam menekan emisi gas rumah kaca dan memperlambat perubahan iklim, menjadikannya elemen kunci mitigasi iklim global (SDG 13).

Mangrove dan Ketahanan Pangan Nasional

Mangrove berkontribusi pada ketahanan pangan melalui tiga cara utama: sumber pangan langsung, pelindung lahan pangan, dan penopang ekonomi masyarakat. Kerusakan mangrove memperparah ketimpangan ekonomi dan melemahkan ketahanan pangan nasional.

Tantangan Konservasi Mangrove di Indonesia

Alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan infrastruktur pesisir menjadi ancaman utama pelestarian mangrove. Rehabilitasi yang tidak tepat, kurangnya koordinasi antarinstansi, dan rendahnya kesadaran publik juga menjadi kendala.

Strategi Efektif Menjaga Mangrove

  1. Restorasi berbasis masyarakat, seperti di Desa Bedono, Demak.
  2. Pengembangan sistem silvofishery, yang menggabungkan kehutanan mangrove dengan budidaya perikanan.
  3. Pendidikan dan partisipasi generasi muda.
  4. Dukungan kebijakan dan insentif ekonomi hijau.

Upaya nyata untuk menjaga mangrove membutuhkan sinergi antara pemerintah, peneliti, komunitas lokal, dan generasi muda. Beberapa strategi terbukti efektif meliputi:

1. Restorasi berbasis masyarakat. Contohnya di Desa Bedono, Demak, di mana keterlibatan aktif warga dalam penanaman terbukti meningkatkan keberhasilan rehabilitasi sekaligus menumbuhkan rasa memiliki atas ekosistem yang dipulihkan.

2. Pengembangan sistem silvofishery, atau sistem tambak tumpangsari menggabungkan kehutanan mangrove dengan budidaya perikanan. Praktik ini menjaga keseimbangan ekologi sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan sehingga mendukung SDG 2 (Tanpa Kelaparan), SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), serta SDG 14 (Ekosistem Lautan).

3. Pendidikan dan partisipasi generasi muda. Mengintegrasikan materi mangrove dalam kurikulum dan kegiatan sekolah lapangan dapat menumbuhkan kesadaran lingkungan sejak dini.

4. Dukungan kebijakan dan insentif ekonomi hijau. Pemerintah dan sektor swasta perlu kolaborasi untuk mendorong sertifikasi untuk standarisasi produk ramah lingkungan semisal yang berbasis mangrove, bantuan modal, serta insentif fiskal untuk kegiatan ekonomi berbasis mangrove. Hal ini akan memperkuat peran masyarakat sebagai pelaku utama konservasi.

Pelestarian mangrove adalah investasi sosial dan ekonomi jangka panjang, membutuhkan kolaborasi multipihak dan lintas sektor. Dengan langkah kolaboratif dan berkelanjutan, mangrove akan terus memberikan manfaat lintas generasi dan menjaga Indonesia tetap tangguh.

Oleh Siham Afatta & Dhira Khurniawan Saputra

Lebih baru Lebih lama