
Tangerang Selatan - Spiritualitas tak selalu rumit. Tiga praktik sederhana namun mendalam dapat membawa kedamaian: tersenyum, menerima hidup apa adanya, dan mendengarkan dengan empati.
Senyum: Kunci Pembuka Kedamaian
“Sejak aku masuk Islam, Rasulullah ﷺ tidak pernah menghalangi aku untuk menemuinya. Dan setiap kali beliau melihatku, pasti beliau tersenyum kepadaku.” (HR. al-Bukhari no. 3035, Muslim no. 2475)
Senyum bukan sekadar gerakan otot wajah, melainkan ekspresi jiwa yang membuka pintu kedamaian, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Ia melepaskan pikiran negatif dan menumbuhkan relaksasi.
Penerimaan: Menari Bersama Arus Kehidupan
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghābun: 11)
“Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa ridha, maka baginya keridhaan Allah. Barangsiapa murka, maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 2396, dinyatakan hasan)
Menerima hidup apa adanya, dengan suka dan duka, bukan berarti pasrah. Ini tentang menerima takdir dan menemukan hikmah di setiap peristiwa.
Empati: Mendengarkan dengan Hati
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ketika ada seseorang yang berbicara kepada Rasulullah ﷺ, beliau menghadapkan wajah dan seluruh tubuhnya kepada orang itu, hingga orang tersebut merasa dialah satu-satunya yang diperhatikan.” (HR. at-Tirmidzi no. 3640, dinyatakan hasan)
Mendengarkan dengan empati adalah bentuk pelayanan spiritual yang mendalam. Menampung keluh kesah orang lain, merawat luka batin mereka, dan menanam benih cinta.
Tanda Jiwa Tercerahkan: Keseimbangan dan Kekinian
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa di bumi dan pada dirimu kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan) agar kalian tidak bersedih hati atas apa yang luput dari kalian, dan tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Ḥadīd: 22–23)
Jiwa yang tercerahkan memandang masa lalu sebagai pelajaran, masa depan sebagai harapan, dan hidup sepenuhnya di saat ini. Keseimbangan dan syukur menjadi kunci utama.
Kisah Salman Al-Farisi dan Abu Darda’: Keseimbangan dalam Ibadah dan Kehidupan
“Nabi ﷺ mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. ... Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“ Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi ﷺ lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Nabi bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari)
Kisah ini menekankan pentingnya keseimbangan antara ibadah, keluarga, dan kehidupan duniawi. Spiritualitas sejati bukan melarikan diri dari dunia, tetapi menghadapinya dengan penuh kesadaran dan keseimbangan.
Kesimpulan: Kesederhanaan Spiritual yang Menyembuhkan
Spiritualitas sejati dapat ditemukan dalam kesederhanaan: senyum, penerimaan, empati, dan keseimbangan. Ini bukan tentang ritual rumit, tetapi tentang hadir sepenuhnya dalam kehidupan, mencari kedamaian dan kesyukuran dalam setiap langkah. Seperti pesan Salman kepada Abu Darda’, dan pengakuan Rasulullah ﷺ yang bersabda; “Salman benar,” spiritualitas sejati bukanlah lari dari dunia, melainkan menghadirinya dengan penuh keseimbangan.