Dahnil Anzar Simanjuntak Bicara Ancaman Kedaulatan di Sekolah Virtual Kebangsaan LDII
Jakarta (23/8). Pemerhati Politik Pertahanan sekaligus Juru Bicara Presiden Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, menegaskan bahwa Indonesia saat ini menghadapi dua titik ekstrem dalam menjaga kedaulatan bangsa. Pertama, ancaman dari paham agnostik negara yang menganggap keberadaan negara tidak penting. Kedua, radikalisasi agama yang menganggap segala hal terkait negara adalah berhala.
Ancaman Non-Militer yang Tak Bisa Diabaikan
Dahnil yang juga menjabat Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BPH) RI menyampaikan, ancaman kedaulatan bangsa tak hanya datang dari aspek ideologi, tetapi juga pangan, air, dan energi. Hal ini ia tekankan saat menjadi pembicara di Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) yang digelar DPP LDII di Grand Ballroom Minhajurrosyidin, Jakarta.
“Pertahanan bukan cuma soal tank dan senjata. Kalau kita kalah di pangan, energi, dan teknologi, kita bisa kalah tanpa perang,” tegas Dahnil.
Peringatan dari Presiden Prabowo
Dahnil menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2014 yang telah mengingatkan ancaman non-militer di masa depan. Menurutnya, prediksi itu kini terbukti benar. Ia bahkan mengutip survei internasional dari The Economist (2018) yang menyebut Amerika Serikat dan Eropa adalah kawasan paling siap menghadapi krisis pangan 2035.
“AS belum menguras energi domestiknya, tapi sudah mengamankan cadangan lewat kendali di Timur Tengah. Sementara Eropa merevitalisasi pertaniannya. Mereka jauh lebih siap. Kalau kita tidak serius mengurus pangan dan air, kedaulatan kita akan goyah,” ujar Dahnil.
Pesantren LDII sebagai Pusat Riset
Dahnil berharap pesantren LDII mampu menjadi pionir dalam menjawab tantangan tersebut. Ia menekankan bahwa pesantren tidak hanya fokus pada pengajaran agama, tetapi juga harus berkembang sebagai pusat riset pangan, energi terbarukan, dan teknologi.
“Beasiswa ke luar negeri jangan hanya dipakai untuk studi fikih. Anak-anak muda LDII juga harus belajar teknologi pangan, energi, dan sains. Arab Saudi saja sudah maju dalam teknologi pangan, mengapa kita tidak meniru?” ucapnya.
Posisi Unik LDII dalam Ormas Islam
Menurut Dahnil, LDII memiliki posisi unik dalam lanskap ormas Islam. Jika Muhammadiyah dan NU berperan meramu nilai keislaman dengan kebangsaan, maka LDII disebut mengoperasionalkan nilai itu di tingkat praktik.
“LDII ini sudah produk jadi. Tinggal bagaimana generasi mudanya mampu mengimplementasikan warisan itu dalam konteks tantangan kontemporer,” kata Dahnil.
LDII dan Perjalanan Kebangsaan
Dahnil menilai LDII mampu mensenyawakan Islam dengan Pancasila. Ia bahkan menyebut LDII sebagai ormas Islam otentik Indonesia karena lahir dari proses politik bangsa sendiri. Meski pernah mendapat stigma di masa lalu, Dahnil menilai generasi muda LDII memiliki peluang besar membalik sejarah.
Islam di Indonesia: Tumbuh Bersama Pancasila
Ia menegaskan bahwa Islam paling ideal justru berkembang di Indonesia, termasuk melalui LDII, karena mampu bersatu dengan Pancasila tanpa menghapus keberagaman.
“Kunci Pancasila adalah dialog dan penghormatan. Itu modal pertahanan bangsa kita,” ungkap Dahnil.
Generasi Muda LDII di Era Digital
Dahnil mengapresiasi LDII karena memberi ruang luas bagi generasi muda untuk berekspresi di media sosial. Baginya, langkah ini adaptif sekaligus strategi dakwah yang ramah dan relevan di era digital.
“Saya senang LDII agresif memberi anak muda ruang berekspresi di sosmed. Ini cara cerdas agar dakwah Islam tetap relevan dengan zaman,” pungkas Dahnil.




