Islam secara tegas mengajarkan umatnya untuk menebar kebaikan kepada seluruh umat manusia, sebuah prinsip yang melintasi batas suku, ras, agama, dan status sosial. Di antara wujud nyata ajaran universal ini, perhatian terhadap tetangga menempati posisi istimewa, bahkan diwujudkan melalui anjuran sederhana seperti melebihkan kuah masakan untuk dibagikan.
Ajaran ini berakar pada konsep bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin atau rahmat bagi seluruh alam. Kebaikan tidak bersifat eksklusif, melainkan sebuah bahasa universal untuk membangun peradaban yang harmonis. Dalam konteks ini, tetangga adalah lingkaran sosial terdekat yang paling pertama merasakan dampak dari perilaku kita.
Pentingnya memuliakan tetangga ditekankan begitu kuat hingga Malaikat Jibril berulang kali menasihati Nabi Muhammad SAW mengenai hak-hak mereka. Saking seringnya, Nabi bahkan sempat mengira tetangga akan mendapatkan hak waris. Ini menunjukkan betapa krusialnya menjaga hubungan baik di lingkungan terdekat.
Salah satu praktik yang paling dikenal adalah anjuran Nabi Muhammad SAW kepada sahabatnya, Abu Dzar. Beliau bersabda, "Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya dan berilah tetanggamu."
Pesan ini jauh lebih dalam dari sekadar berbagi makanan. Melebihkan kuah adalah simbol dari kepedulian, perhatian, dan kepekaan sosial. Ini adalah cara praktis untuk menyapa, menjalin komunikasi, dan memastikan tidak ada seorang pun di sekitar kita yang merasa sendirian atau kekurangan. Tindakan kecil inilah yang menjadi perekat sosial, mengubah hubungan yang semula biasa menjadi persaudaraan yang hangat.
Pada akhirnya, ajaran ini adalah implementasi dari filosofi "satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit". Dengan secara aktif membangun jembatan kebaikan melalui tindakan sederhana, potensi konflik dapat diredam sejak dini. Sebaliknya, ikatan pertemanan yang tulus akan tumbuh subur, menciptakan lingkungan yang aman, suportif, dan damai bagi semua.
