Kediri (25/5) — Kekerasan di lingkungan pendidikan masih menjadi persoalan serius yang kerap luput dari perhatian. Dalam upaya mendorong terciptanya ruang belajar yang aman dan nyaman bagi peserta didik, DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menggelar Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Dalam pelatihan tersebut, psikolog Dian Alia Putri membeberkan berbagai fakta yang menunjukkan masih maraknya kekerasan di sekolah dan pesantren. “Sekolah seharusnya menjadi tempat anak bertumbuh, bukan justru menyimpan trauma,” ujar Dian di hadapan ratusan peserta. Ia menekankan pentingnya kejujuran dalam menangani kekerasan. “Kita tak bisa menyelesaikan masalah yang tak pernah diakui.”
Dian menyebutkan bahwa kekerasan di institusi pendidikan bisa terjadi antarpeserta didik, antara guru dan siswa, maupun antarpendidik. Ia mengidentifikasi enam bentuk kekerasan yang umum ditemukan, yakni kekerasan fisik, psikis, perundungan (bullying), kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kekerasan yang lahir dari sistem dan kebijakan sekolah.
“Banyak dari kita masih menganggap kekerasan hanya soal fisik. Padahal ejekan yang berulang, candaan seksual, hingga ketimpangan perlakuan adalah bentuk-bentuk kekerasan yang tak kasat mata,” jelas Dian yang juga tergabung dalam Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga (PPKK) DPP LDII.
Dalam konteks pesantren, Dian menggarisbawahi minimnya pemahaman terhadap kekerasan seksual. Ia mencontohkan, candaan yang melibatkan sentuhan pada organ tubuh sering kali dianggap wajar, padahal hal itu dapat menimbulkan trauma psikologis yang berkepanjangan.
Tak hanya itu, kekerasan digital juga menjadi sorotan. “Sekalipun ponsel dibatasi penggunaannya di sekolah, kekerasan digital tetap bisa terjadi. Anak-anak tetap membawa luka dari dunia maya ke dunia nyata,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung soal budaya kekerasan yang diwariskan secara turun-temurun. Guru yang dulu mengalami kekerasan dalam pendidikan, cenderung mengulang pola serupa. Data dari Yayasan Sejiwa menyebutkan, 37 persen guru di Indonesia memiliki kecenderungan agresif, dan di Jawa Tengah angkanya mencapai 80 persen.
“Sistem pendidikan kita secara tidak langsung melegitimasi kekerasan atas nama disiplin,” tutur Dian. “Ini yang harus kita periksa ulang. Apakah ketegasan selalu harus identik dengan kekerasan?”
Hasil riset UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ia paparkan menunjukkan bahwa santri putra justru lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan santri putri. Penyebab utamanya adalah minimnya edukasi reproduksi dan kurangnya pengawasan berbasis gender di asrama.
Namun dari sisi ketahanan mental, santri putra dinilai lebih kuat. “Aktivitas fisik seperti olahraga terbukti menjaga kesehatan mental mereka,” kata Dian. Sementara itu, ia menganjurkan agar santri putri diberi lebih banyak ruang untuk berekspresi melalui seni dan kegiatan berbasis emosional.
Pelatihan TPPK ini menjadi langkah awal LDII dalam membentuk satuan pendidikan yang memenuhi prinsip aman, nyaman, dan menyenangkan (SANM). Sebab masih banyak institusi pendidikan yang belum memiliki sistem pelaporan kekerasan, belum menetapkan sanksi yang jelas bagi pelaku, dan belum memahami pendekatan psikologis terhadap anak.
Dian mengajak seluruh peserta untuk bersikap aktif dalam penanganan kasus kekerasan. “Pendekatan harus holistik. Dengarkan korban, pahami pelaku, dan hadirkan keadilan restoratif,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya pendekatan tabayun dalam menyelidiki kasus—yakni verifikasi dengan empati dan tanpa prasangka. “Tujuannya bukan menghukum, tapi menyembuhkan,” jelasnya.
Menutup pemaparannya, Dian menegaskan bahwa sekolah yang ideal bukanlah tempat yang bebas dari konflik, melainkan tempat yang mampu mengelola konflik dengan bijaksana. “Jika ingin anak-anak kita tumbuh sehat secara mental, kita harus mulai dari ruang kelas yang bebas kekerasan. Sekecil apapun bentuknya.”