Sebuah pengalaman unik menyapa para jemaah haji Indonesia saat berada di Mekkah dan Madinah. Para pedagang, mulai dari pemilik toko hingga asongan, dengan fasih mengucapkan kata "Jokowi" saat menjajakan barang dagangan mereka.
"Jokowi! Jokowi! Seratus ribu, Jokowi!" teriak mereka menawarkan baju abaya yang ditenteng.
Jemaah haji perempuan, terutama ibu-ibu, mengerumuni pedagang tersebut. Mereka memilih dan memilah pakaian yang cocok untuk diri mereka.
Di sisi lain, jemaah haji laki-laki sibuk mencoba baju gamis yang dijual dengan harga 10 Riyal Arab atau 50 ribu rupiah.
Kemampuan berbahasa Indonesia para pedagang tak hanya sebatas kata "Jokowi". Banyak di antara mereka yang fasih berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Bahkan, toko-toko di sekitar Masjidil Haram dan hotel tempat penginapan jemaah haji Indonesia memasang tulisan harga dan tulisan dalam bahasa Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh. Hal ini menjadikan jemaah haji Indonesia sebagai mayoritas pendatang di Tanah Suci.
Dampak Kepopuleran Bahasa Indonesia
Kepopuleran bahasa Indonesia di Mekkah dan Madinah membawa beberapa dampak positif, di antaranya: Memudahkan komunikasi antara jemaah haji dan pedagang. Jemaah haji tak perlu khawatir kesulitan berkomunikasi dan menawar harga saat berbelanja.Meningkatkan peluang bisnis bagi pedagang lokal. Kemampuan berbahasa Indonesia memungkinkan pedagang lokal untuk menarik lebih banyak pembeli dari Indonesia. Memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi. Kepopuleran bahasa Indonesia di Tanah Suci dapat menjadi jembatan budaya dan mempererat hubungan kedua negara.
Fenomena bahasa Indonesia di Mekkah dan Madinah merupakan sebuah bukti nyata tingginya minat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh. Hal ini juga menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang familiar dan dihargai di dunia internasional.