Menilik Dapur Peradaban yang Sulit Dirapikan

rk


Gemebyar lampu perkotaan kala malam mulai turun. Atau kian mudahnya teknologi informasi dan komunikasi serta otomatisasi mengambil alih pekerjaan manusia, hingga pedesaan yang kian otomatis dalam menjalankan pertanian. Semua itu hanya halaman depan sebuah peradaban.

Ketika masalah di halaman depan beres, dan terlihat canggih dan mutakhir, sejatinya masalah manusia belum benar-benar selesai. Masalah itu adalah sampah, yang tentu saja ada di belakang alias dapur. Sampah menjadi tolok ukur mengukur peradaban itu sendiri. Kota megah, macam Jakarta saja belum benar-benar mampu menyelesaikan masalah. Demikian halnya kota-kota megapolitan di seluruh dunia, bisa dipastikan pernah bergelut dengan sampah.

Namun, Jakarta dan kota-kota di Indonesia selayaknya belajar dari negara-negara lain. Di mana sampah tak hanya ditumpuk menggunung, lalu ditimbun. Atau dibakar, hingga menyisakan abu dan debu. Melirik Taiwan dan Jepang, mereka berhasil menanggulangi sampah dengan metode pisah, pilah, dan daur ulang.

Taiwan pernah seperti Jakarta dua dekade lalu. Taipei ibu kota Taiwan pernah menggunakan metode menimbun sampah di pinggiran kota seperti Jakarta. Masyarakat di sekitar pembuangan sampah memprotes keras pemerintah kota Taipei. Mereka mengalami siksaan bau busuk yang memenuhi udara. Dan itu diperparah parah dengan kualitas air tanah yang memburuk.

Melalui riset dan edukasi yang panjang, masyarakat Taipei dibiasakan memilah sampah sebelum dibuang. Sampah basah alias sampah rumah tangga ditempatkan dalam kantong kantong yang diisi tanah, yang kemudian menjadi kompos. Sementara plastik dan kertas dipilah, yang kemudian didaur ulang.

Pemerintah Taipei juga tak menempatkan tong sampah di jalanan, sehingga pedestrian tampak bersih. Warga harus mengantongi bungkus permen atau botol minuman untuk dibuang sesampai di rumah. Perang dengan sampah itu berhasil, sehingga Taipei menyusul Tokyo, yang jalanannya bersih dari sampah.

Bila diperhatikan kisah sukses itu menuntut semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Sebagian masyarakat yang sadar mengelola sampah tak akan menciptakan efek besar terhadap lingkungan. Sementara, bila hanya pemerintah saja yang ngotot, sementara masyarakat abai. Maka, bisa dipastikan penanggulangan sampah bakal gagal.

Pemerintah Kota Taipei menyadari hal itu. Mereka bekerja sama dengan lembaga internasional, LSM, dan tokoh tokoh masyarakat serta komunitas untuk mengedukasi warga. Mereka menciptakan struktur hingga ke bawah untuk mengedukasi dan memberi contoh praktik mengelola sampah. Hingga mereka tak memerlukan semacam Tempat Pembuangan Akhir (TPA), karena masalah sampah sudah bisa ditangani di rumah-rumah. Kini Taipei memetik hasilnya. Kebersihannya, menjadi modal penting menjadikannya kota destinasi utama pariwisata Asia.

Analogi sampah adalah residu peradaban memang benar adanya. Dulu, Moravia di Mendellin kota terbesar kedua setelah Bogota ibu kota Kolombia, merupakan kota sampah. Sampah menggunung bebarengan dengan kekerasan antargeng narkoba. Berkat kepedulian warga, kini Moravia berubah menjadi kota cantik, seturut menurunnya peredaran narkoba akibat tindakan keras pemerintah Kolombia.

Moravia bersolek, gunungan sampah berubah menjadi ladang lavender. Dan di puncak bukit yang dulunya gunung sampah, terdapat museum yang menceritakan masa lalu Moravia dan Mendellin. Moravia, kini jadi kota dengan transportasi terbaik dan ekowisata tumbuh di seluruh kota. Warga-warga yang dulunya menganggur, diorganisir membuat homestay dan menyajikan hidangan-hidangan rumahan di restoran yang dikelola bersama.

Dari pengalaman itu, sampah bila dikelola dengan baik, peradaban bukan hanya tercermin dari halaman depan.. Pembuangan akhir pun nyaris tidak ada, karena semuanya dimanfaatkan kembali sehingga residu itu, tak mengganggu pemandangan atau menurunkan standar hidup masyarakat.

Oleh Rully Kuswahyudi - Ketua DPP LDII Koordinator Bidang KIM From Nuansa Persada Edisi Cetak Mei 2022



Post a Comment

Previous Post Next Post