"Budaya mandi Safar dijadikan objek wisata lantaran unik dan menarik," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng, melalui Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng, Aida Meyarti, di Palangkaraya, Minggu (2/8).
Mengutip sebuah buku catatan tentang budaya tersebut, ia menuturkan, atraksi tersebut dilaksanakan pada hari Arba Musta'mir atau hari Rabu terakhir dalam bulan Safar (bulan kedua dalam Kalender Hijriah).
Berdasarkan keterangan, upacara Mandi Safar dilakukan untuk mengenang dan memperingati peristiwa mati syahidnya Husin bin Ali bin Abi Tholib yang memimpin tentaranya berangkat dari Mekkah ke Kota Kuffah.
Masyarakat yang akan mengikuti prosesi Mandi Safar, sebelum menceburkan diri ke dalam sungai Mentaya, telah membekali diri dengan daun Sawang yang diikat di kepala atau di pinggang.
Daun Sawang tersebut sebelumnya dirajah oleh sesepuh atau alim ulama setempat. Menurut kepercayaan, pemakaian Daun Sawang itu agar orang yang mandi terjaga keselamatannya dari segala gangguan baik dari gangguan binatang maupun makhluk halus.
Setelah selesai mandi, masyarakat berkumpul di tempat acara yaitu di Pelabuhan Sampit untuk bersama-sama membaca doa mohon keselamatan yang dipimpin oleh kiai setempat.
Selanjutnya masyarakat beramai-ramai memperebutkan aneka makanan yang dibentuk seperti gunungan terdiri dari 41 jenis kue tradisional seperti kue cucur, apem putih, apem merah, wajik, ketupat burung, dan lain-lain.
Kegiatan Mandi Safar merupakan satu di antara atraksi budaya bernuansa agama yang akan terus dipromosikan guna menambah perbendaharaan objek wisata Kalteng.
Dengan lebih banyaknya atraksi budaya menjadi objek wisata, diharapkan Kalteng lebih dikenal luas sehingga kian banyak wisatawan mengunjungi wilayah itu.
"Bila kian banyak wisatawan maka diharapkan kian banyak pula uang dibelanjakan di wilayah ini harapannya warga Kalteng kian sejahtera di kemudian hari," demikian Aida Meyarti. (Ant/OL-03)
Menurut Ketua Panitai H Supriadi MT, kegiatan mandi Safar 2009 bertujuan mengangkat budaya lokal. Dengan begitu, seluruh masyarakat Indonesia lebih mengetahui budaya yang ada di Kotim.
Sementara itu, pada pelaksanaan mandi Safar, kegiatan diawali dengan pemberian daun sawang yang sudah dirajah. Daun sawang tersebut diarak bersamaan dengan nasi dan kue gunungan, kemudian dibagikan di Dermaga Habaring Hurung. Warga pun lalu menceburkan diri ke sungai. "Ini dilakukan agar adanya saling menghargai antarmasyarakat dan pejabat pemerintahan serta mengakrabkan dan menguatkan rasa persatuan pimpinan dan masyarakatnya," kata Supriadi. (raf/jpnn/end)