
Upaya Swasembada Pangan di Tengah Tantangan
“Di tengah tekanan perubahan iklim dan alih fungsi lahan, Indonesia tengah berjuang mewujudkan swasembada pangan. Sebagai langkah untuk membangun kedaulatan pangan. Kebijakan tersebut harus didukung oleh seluruh elemen bangsa, baik pemikiran, tenaga, maupun kritik yang membangun,” tutur Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
KH Chriswanto mengingatkan bahwa Indonesia pernah mencapai swasembada pangan pada pertengahan 1990-an, namun terhambat oleh kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memaksa pencabutan subsidi di sektor pertanian pada tahun 1998. Kebijakan tersebut, menurutnya, merugikan petani dan menyebabkan sektor pertanian terpuruk.
“Kebijakan tersebut mematikan petani yang pondasi usahanya lemah. Akibatnya, pertanian secara nasional tertatih-tatih akibat rentenir, jalur pasok berkepanjangan, monopoli perusahaan pertanian raksasa, yang berakibat pada kesejahteraan petani dan peternak. Termasuk program swasembada pangan,” tuturnya.
Pangan Sebagai Alat Diplomasi
Di tengah dinamika global, KH Chriswanto menekankan bahwa pangan juga menjadi alat dalam perang ekonomi. Negara pengeskpor pangan berpotensi mengendalikan negara lain sesuai kepentingan politik mereka.
“Abad 21 menandai perang ekonomi, di mana pangan menjadi salah satu alat tekan. Negara-negara pengekspor pangan mampu mengendalikan negara lain, bila mereka memiliki kepentingan terhadap suatu negara,” ujar KH Chriswanto.
Sebagai respons terhadap tantangan ini, ia mendorong warga LDII untuk berinovasi dalam bidang pertanian. Apresiasi juga diberikan kepada Ketua DPP LDII, Rubiyo, yang baru-baru ini meraih penghargaan “Indonesian Breeder Award (IBA) 2025 Kategori Social Impact”.
Penghargaan untuk Inovasi Pertanian
Acara penghargaan tersebut diselenggarakan oleh Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) bekerja sama dengan IPB University dan PT East West Seed Indonesia (EWINDO) di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, Jawa Barat. Rubiyo, yang merupakan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa penghargaan ini merupakan pengakuan tertinggi bagi ilmuwan di bidang pemuliaan.
“Tahun ini, terdapat tujuh kategori penghargaan, yakni economic impact, social impact, innovation and technology development, lifetime achievement, local heroes, young breeder, dan plasma nutfah,” kata Rubiyo.
Rubiyo menjelaskan bahwa ia telah berhasil merakit varietas unggul kakao dan kopi, yang kini telah diadopsi oleh petani dan perusahaan perkebunan. Ia juga mengungkapkan bahwa produksi kakao telah meningkat signifikan, dari 1.000 kg menjadi 2.500 kg biji kering per tahun per hektar.
Sementara itu, Kepala BRIN, Arif Satria, menyoroti kebutuhan yang mendesak akan pemulia tanaman di Indonesia, dengan hanya sekitar 1.000 pemulia yang aktif.
“Namun kontribusinya dirasakan jutaan masyarakat, melalui benih yang ditanam petani,” tutupnya.
Arif menegaskan komitmen BRIN untuk memperkuat inovasi dan pemulia tanaman melalui kolaborasi dengan berbagai pihak guna mencapai kemandirian benih nasional.