Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 55 Tahun 2024: Mencegah dan Menangani Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi
>Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Regulasi ini menggantikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, dengan tujuan memperkuat sistem pencegahan sekaligus penanganan kasus kekerasan di lingkungan kampus.
Permendikbudristek 55/2024 hadir sebagai landasan hukum baru agar perguruan tinggi menjadi ruang yang ramah, aman, inklusif, setara, serta bebas dari segala bentuk kekerasan.
Latar Belakang dan Tujuan
Kasus kekerasan—baik fisik, psikis, seksual, maupun diskriminatif—masih kerap terjadi di kampus. Regulasi baru ini didesain untuk:
- Menjamin perlindungan Warga Kampus (mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan staf).
- Mengintegrasikan prinsip hak asasi manusia dalam sistem pendidikan tinggi.
- Memastikan penanganan kasus dilakukan secara adil, transparan, dan berbasis korban.
Definisi Kunci
- Kekerasan: Perbuatan dengan/ tanpa kekuatan fisik yang membahayakan tubuh, jiwa, martabat, psikologis, atau membatasi kemerdekaan seseorang.
- Pencegahan: Upaya mencegah agar kekerasan tidak terjadi.
- Penanganan: Proses mengatasi kekerasan yang telah terjadi.
- Warga Kampus: Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan staf perguruan tinggi.
- Korban: Individu yang mengalami kekerasan.
- Pelaku: Individu yang terbukti melakukan kekerasan.
Jenis Kekerasan yang Diatur
- Kekerasan Fisik – tawuran, penganiayaan, eksploitasi ekonomi paksa.
- Kekerasan Psikis – pengucilan, intimidasi, penyebaran rumor.
- Perundungan (bullying) – kekerasan berulang dengan ketimpangan kuasa.
- Kekerasan Seksual – pelecehan, pemerkosaan, eksploitasi seksual.
- Diskriminasi dan Intoleransi – perlakuan tidak setara berdasarkan identitas atau latar belakang.
- Kebijakan yang Mengandung Kekerasan – aturan institusi yang diskriminatif atau represif.
Prinsip Pencegahan dan Penanganan
Regulasi ini menegaskan 10 prinsip dasar, di antaranya:
- Nondiskriminasi
- Kepentingan terbaik korban
- Keadilan gender & kesetaraan akses
- Akuntabilitas
- Independensi proses
Peran Perguruan Tinggi
- Membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas) dengan minimal 7 anggota.
- Menyusun pedoman anti-kekerasan.
- Menyediakan layanan pendampingan medis, psikologis, hukum, dan sosial.
- Melakukan sosialisasi nilai-nilai inklusif di kampus.
Peran Kementerian
- Menyusun standar operasional penanganan kasus.
- Memberikan pelatihan kepada Satgas kampus.
- Mengalokasikan pendanaan dan memantau implementasi regulasi.
Prosedur Penanganan Kasus
- Pelaporan – bisa dilakukan korban, saksi, atau pihak ketiga.
- Verifikasi Awal – Satgas memeriksa identitas, kronologi, dan bukti awal.
- Pemeriksaan – investigasi mendalam dengan perlindungan korban.
- Rekomendasi – Satgas menyusun kesimpulan dan saran sanksi/pendampingan.
- Keputusan Akhir – pimpinan perguruan tinggi memutuskan langkah sesuai rekomendasi.
Hak Korban, Saksi, dan Pelapor
- Korban: Perlindungan, pendampingan psikologis/hukum, jaminan privasi.
- Saksi: Perlindungan identitas, akses pendamping, informasi perkembangan kasus.
- Pelapor: Konfidensialitas, proteksi dari intimidasi/retaliasi.
Partisipasi Masyarakat & Data
Masyarakat dapat ikut serta dalam:
- Sosialisasi nilai inklusif.
- Melaporkan dugaan kekerasan.
- Mendukung korban melalui pendampingan.
Data kekerasan akan dikelola perguruan tinggi dan Kementerian untuk evaluasi dan perbaikan sistem.
Penghargaan dan Pendanaan
- Kementerian dapat memberikan penghargaan kepada kampus atau individu yang aktif mencegah dan menangani kekerasan.
- Pendanaan berasal dari anggaran perguruan tinggi, APBN, atau sumber sah lainnya.
Ketentuan Peralihan
- Satgas lama (hasil Permendikbud 30/2021) tetap bekerja hingga masa tugas berakhir.
- Kasus yang sedang ditangani akan tetap dilanjutkan dengan aturan baru.
Kesimpulan
Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem perlindungan di perguruan tinggi. Dengan definisi yang jelas, prosedur transparan, serta jaminan hak korban dan saksi, regulasi ini diharapkan mampu mewujudkan kampus yang aman, inklusif, dan bebas kekerasan.
Keberhasilan implementasi regulasi ini membutuhkan kolaborasi erat antara perguruan tinggi, Kementerian, masyarakat, dan seluruh Warga Kampus.