مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ، جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ. وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ.
“Barang siapa menjadikan akhirat sebagai ambisinya: Allah akan menjadikan kekayaan di dalam hatinya, Allah akan mengumpulkan urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Barang siapa menjadikan dunia sebagai ambisinya: Allah akan menjadikan kemiskinan di depan kedua matanya, mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali yang telah ditakdirkan untuknya.” (HR. Tirmidzi)
Hidup manusia adalah perjalanan yang sangat singkat. Dunia hanyalah tempat singgah sementara yang akan berakhir dengan kematian. Sedangkan akhirat adalah tempat tinggal yang kekal. Namun, betapa banyak manusia yang terbalik dalam memaknai kehidupan ini — lebih mengejar dunia yang fana, dan melupakan kehidupan akhirat yang abadi. Padahal, justru dengan menjadikan akhirat sebagai orientasi utama, Allah menjanjikan keberkahan yang sesungguhnya di dunia dan di akhirat.
Makna Kebarokahan dalam Kehidupan
Kata barokah berasal dari bahasa Arab barakah (البركة) yang berarti “bertambahnya kebaikan dan keberlanjutan manfaat”. Sesuatu dikatakan penuh berkah bukan hanya karena banyaknya secara jumlah, tetapi karena membawa kebaikan yang berkelanjutan, ketenangan batin, dan kemanfaatan luas.
Orang yang hidupnya penuh barokah bukan berarti ia selalu kaya harta, melainkan apa pun yang ia miliki selalu mendatangkan kebaikan — rezekinya cukup, hatinya lapang, keluarganya harmonis, dan amalnya terus mengalir meski jasadnya telah tiada. Inilah kebahagiaan hakiki yang dicari oleh setiap insan beriman.
Menjadikan Akhirat Sebagai Tujuan Utama
Hadis di atas menggambarkan dua tipe manusia. Tipe pertama adalah mereka yang menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup. Semua aktivitasnya di dunia, baik bekerja, berkeluarga, beribadah, atau berinteraksi sosial, selalu diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah dan pahala di akhirat. Tipe kedua adalah mereka yang hanya mengejar dunia: kekayaan, jabatan, gengsi, dan popularitas.
Nabi ﷺ menyampaikan dengan sangat indah bahwa ketika seseorang menjadikan akhirat sebagai ambisinya, Allah akan memberikan tiga karunia besar:
- Kekayaan di dalam hati — artinya ia selalu merasa cukup, tidak tamak terhadap dunia. Hatanya tenang dan tidak gelisah walaupun rezekinya sederhana.
- Keteraturan urusan — Allah memudahkan segala urusannya. Ia tidak mudah bingung, karena setiap langkahnya diberkahi dan diarahkan oleh Allah.
- Dunia akan datang dengan tunduk — rezeki menghampirinya tanpa harus ia kejar dengan berlebihan. Dunia seolah menjadi pelayan bagi orang yang mengejar akhirat.
Sebaliknya, orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya akan selalu merasa miskin walaupun hartanya berlimpah, karena nafsu dunia tidak pernah terpuaskan. Urusannya berantakan, hidupnya penuh stres, dan dunia yang ia kejar justru menjauh.
Menata Niat dalam Setiap Aktivitas
Segala sesuatu bermula dari niat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat adalah kompas utama yang menentukan arah amal manusia. Makan bisa menjadi ibadah bila diniatkan untuk menjaga tenaga agar kuat beribadah. Tidur bisa berpahala jika diniatkan agar tubuh segar untuk salat malam. Bekerja pun bisa bernilai akhirat jika diniatkan untuk menafkahi keluarga karena Allah.
Oleh sebab itu, mencari kebarokahan hidup berarti menata niat agar semua aktivitas duniawi menjadi ladang amal akhirat. Seorang pedagang misalnya, bukan sekadar mencari untung, tetapi ingin membantu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan jujur. Seorang guru bukan sekadar mengajar, tetapi ingin mencerdaskan anak bangsa sebagai bentuk ibadah. Bahkan seorang petani yang menanam pohon dengan niat memberi manfaat pada makhluk Allah, juga mendapatkan pahala.
Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Islam tidak melarang umatnya mengejar dunia. Dunia justru menjadi sarana menuju akhirat. Namun, yang ditekankan adalah keseimbangan dan prioritas. Dunia dijadikan alat, bukan tujuan.
Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini mengajarkan bahwa dunia dan akhirat tidak boleh dipisahkan. Seorang muslim harus cerdas menempatkan keduanya. Dunia digunakan untuk membangun bekal menuju akhirat — bukan sebaliknya. Maka, pekerjaan, jabatan, dan rezeki harus menjadi jalan untuk beramal saleh, bukan alat kesombongan.
Kaya Hati, Bukan Kaya Dunia
Kekayaan sejati bukan diukur dari harta yang banyak, melainkan dari hati yang merasa cukup. Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaya hati membuat seseorang tenang walaupun memiliki sedikit. Ia tidak iri pada orang lain, tidak serakah, dan selalu bersyukur. Orang seperti inilah yang hidupnya penuh barokah. Sedangkan orang yang miskin hati, walaupun bergelimang harta, akan tetap merasa kurang dan gelisah.
Kerja Dunia Bernilai Akhirat
Salah satu wujud mencari kebarokahan hidup adalah menjadikan pekerjaan duniawi sebagai amal saleh. Seorang pegawai yang bekerja dengan amanah, tidak korupsi waktu maupun uang, sebenarnya sedang beramal. Ia menjaga kepercayaan, menegakkan kejujuran — yang semua itu bernilai ibadah.
Demikian pula seorang pedagang yang jujur, sabar menghadapi pembeli, dan tidak menipu dalam timbangan, kelak akan dibangkitkan bersama para nabi dan syuhada. Rasulullah ﷺ bersabda: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi)
Makna Barokah dalam Rezeki
Rezeki yang berkah tidak selalu banyak, tapi mencukupi dan membawa kebaikan. Kadang seseorang memiliki gaji kecil namun cukup untuk memenuhi kebutuhan dan membawa ketenangan, sementara yang bergaji besar justru hidup dalam tekanan dan utang.
Barokah itu tidak bisa diukur secara matematis. Ia adalah “tambahan tak terlihat” yang diberikan Allah pada sesuatu. Bisa berupa kesehatan, umur panjang dalam ketaatan, anak-anak saleh, atau waktu yang terasa produktif.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya rezeki itu mencari seorang hamba sebagaimana ajal mencarinya.” (HR. Abu Nu’aim)
Artinya, rezeki yang sudah ditetapkan Allah tidak akan tertukar. Maka, jangan sampai seseorang mengorbankan akhirat hanya demi mengejar rezeki dunia yang sudah pasti kadarnya.
Ketenangan Hidup: Buah dari Niat Akhirat
Orang yang hidupnya berorientasi akhirat akan memiliki ketenangan batin yang luar biasa. Ia sadar bahwa setiap musibah adalah ujian, setiap nikmat adalah amanah, dan setiap usaha adalah bentuk pengabdian. Ia tidak mudah kecewa ketika gagal, dan tidak sombong ketika berhasil.
Ketenangan ini lahir dari keyakinan bahwa semua urusan telah diatur oleh Allah dengan penuh hikmah. Ia berjalan di dunia bukan untuk mencari pujian manusia, tetapi untuk mendapatkan ridha Allah semata.
Kebarokahan dalam Waktu dan Umur
Barokah tidak hanya ada pada rezeki, tetapi juga pada waktu dan umur. Ada orang yang hidup 40 tahun tetapi menghasilkan amal sebanyak orang yang hidup 100 tahun. Itu karena waktu yang ia gunakan penuh barokah. Ia tidak menyia-nyiakan hari-harinya, selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk kebaikan.
Sebaliknya, ada yang hidup panjang tetapi waktunya habis untuk perkara sia-sia — hiburan, gosip, dan kesenangan dunia. Hidupnya panjang, tapi tidak membawa manfaat.
Menanam Amal Jariyah: Investasi Akhirat
Salah satu cara mencari kebarokahan adalah dengan memperbanyak amal jariyah, yaitu amal yang pahalanya terus mengalir meski pelakunya sudah meninggal. Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Setiap amal yang memberi manfaat bagi orang lain akan menjadi bekal berharga di akhirat. Membangun masjid, menanam pohon, menulis ilmu, membantu pendidikan anak yatim, semuanya akan menjadi sumber barokah dan pahala abadi.
Barokah dalam Keluarga
Keluarga yang sakinah, penuh kasih sayang, dan saling menasihati dalam kebaikan adalah bentuk kebarokahan besar. Orang tua yang mendidik anaknya dalam iman, kejujuran, dan ketulusan sedang menanam pahala jangka panjang.
Keluarga yang orientasi hidupnya akhirat akan menumbuhkan generasi yang kuat akidahnya dan bermanfaat bagi masyarakat. Di dalam rumah yang penuh barokah, tidak ada iri, dengki, atau perselisihan yang berkepanjangan. Yang ada hanyalah saling menolong menuju ridha Allah.
Menjauhi Dosa: Menjaga Barokah
Dosa dapat menghapus keberkahan hidup. Setiap maksiat yang dilakukan akan mengurangi ketenangan, memutuskan rezeki, dan menggelapkan hati. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidaklah seseorang melakukan dosa kecuali dosa itu akan meninggalkan bekas kehinaan di dalam hatinya.”
Oleh karena itu, menjaga kebersihan hati dan menjauhi dosa-dosa kecil maupun besar adalah syarat utama agar barokah tetap terjaga. Taubat yang tulus dan istighfar yang rutin adalah sumber keberkahan baru dalam hidup.
Mencari Ridha Allah dalam Setiap Langkah
Segala bentuk amal akan bernilai jika dilakukan karena Allah. Meskipun kecil, bila ikhlas, maka besar nilainya di sisi-Nya. Sebaliknya, amal yang besar tapi riya (ingin dipuji manusia) akan sia-sia.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Ikhlas adalah kunci keberkahan amal. Ia menjadikan hidup ringan, tidak tertekan oleh pandangan manusia, dan penuh makna karena setiap langkah dilakukan untuk menggapai ridha Allah.
Penutup: Hidup yang Penuh Barokah
Hidup yang penuh barokah bukanlah hidup tanpa ujian, tapi hidup yang selalu berada dalam jalan yang diridhai Allah. Setiap kesulitan menjadi ladang pahala, setiap nikmat menjadi sarana syukur, dan setiap kegagalan menjadi pelajaran berharga.
Orang yang berorientasi akhirat tidak akan rugi. Dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina — tunduk sebagai pelayan, bukan tuan. Ia menikmati dunia secukupnya, namun hatinya tertambat pada surga yang abadi.
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba Allah yang menjadikan setiap aktivitas di dunia sebagai jalan menuju ridha-Nya, dan semoga hidup kita penuh kebarokahan hingga akhir hayat.