Tangerang Selatan. Artikel ini menyoroti teladan para sahabat Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi kemiskinan, baik secara materi maupun mental, serta relevansinya dengan kondisi sosial-ekonomi saat ini.
Teladan Sahabat Nabi dalam Mengatasi Kemiskinan
Abu Dzar al-Ghifari: Hidup Sederhana dan Kritik Kekayaan
Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat Nabi ﷺ, dikenal karena kezuhudannya dan penolakannya terhadap kemewahan. Ia dengan tegas mengingatkan para pejabat dan penguasa untuk tidak menimbun kekayaan, melainkan membagikannya.
“Aku heran kepada orang yang tidak memiliki makanan untuk hari ini, bagaimana ia bisa merasa tenang dengan dunia?”
Teladan Abu Dzar menekankan bahwa kemiskinan bukan hanya kekurangan materi, tetapi juga tanggung jawab sosial untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam kemiskinan ekstrem.
Abdurrahman bin Auf: Kaya Hati dan Gemar Berbagi
Abdurrahman bin Auf, sahabat yang kaya raya, menunjukkan bahwa kekayaan materi tidak harus berujung pada ketamakan. Ia dikenal karena kedermawanannya, sering membebaskan budak dan memberi makan orang miskin.
Abdurrahman bin Auf membuktikan bahwa kaya secara materi tidak harus berakhir pada rakus dan tamak, bila hatinya kaya dan penuh syukur.
>“Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.” (HR. Bukhari)
Umar bin Khattab: Pemimpin Adil yang Sederhana
Umar bin Khattab, seorang khalifah yang memiliki kuasa penuh atas kekayaan negara, memilih hidup sederhana.
>“Cukuplah bagiku dua pakaian: satu untuk dipakai, satu untuk dicuci.”
Keadilan Umar tercermin dalam kebijakan distribusi baitul mal yang memastikan harta negara kembali untuk kepentingan rakyat.
Kemiskinan: Lebih dari Sekadar Kemalasan
Kemiskinan seringkali disalahpahami sebagai akibat dari kemalasan. Padahal, banyak keluarga miskin bekerja keras setiap hari, namun hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang dicurahkan. Faktor-faktor struktural, seperti kurangnya akses terhadap lahan, modal, teknologi, pendidikan, dan pasar, memainkan peran penting dalam persoalan kemiskinan.
Al-Qur’an pun mengingatkan kita agar tidak berlaku zalim dalam menakar dan menimbang.
>وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ • الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ • وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
>“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Tetapi apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin: 1–3)
Kemiskinan Mental: Bahaya yang Mengintai
Kemiskinan tidak hanya terbatas pada aspek materi, tetapi juga mencakup kemiskinan mental. Ciri-ciri mental miskin antara lain merasa selalu kurang, lebih suka meminta daripada memberi, dan rakus terhadap fasilitas publik. Kemiskinan mental pada orang yang berkuasa dapat berdampak lebih berbahaya.
>لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
>“Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051)
Solusi Mengatasi Kemiskinan: Struktural dan Mental
Solusi mengatasi kemiskinan harus berjalan di dua jalur:
1. Membenahi struktur sosial-ekonomi agar kerja keras dihargai secara adil.
2. Menumbuhkan mentalitas kaya, yaitu sikap hidup yang mandiri, berintegritas, dan suka berbagi.
>وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ
>“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Qashash: 77)
>كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
>“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Selain itu, ada jalan tengah yaitu jika kemiskinan sudah menjadi pilihan hidup. Ini pilihan yang sulit, tetapi sudah ada contoh yang menyempurnakannya. Tinggal kemauan dan kemampuan setiap jiwa untuk memilih dan menjalaninya. Tentu dengan versi yang berbeda. Ada yang menyebutnya hidup sederhana. Ada yang menyebutnya miskin tapi bahagia. Ada juga yang senang meminjam istilah cukup.