
Kementerian Kebudayaan memimpin revisi besar-besaran penulisan sejarah Indonesia, melibatkan sejarawan terkemuka. Proyek ini bertujuan menciptakan narasi sejarah yang lebih komprehensif dan relevan untuk memperkuat kohesi sosial.
"Ini bukan penulisan ulang yang dimaksudkan untuk mengganti sejarah seenaknya. Kita ingin memperkuat kohesi sosial, memelihara ingatan kolektif bangsa, sekaligus menyempurnakan narasi sejarah Indonesia dengan temuan-temuan terbaru," ujar Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, di kanal YouTube Inspirasi Untuk Bangsa pada 17 Mei 2025.
Proyek yang telah berjalan sejak Januari ini menargetkan sepuluh jilid buku, mencakup sejarah Nusantara dari asal-usul hingga era Presiden Joko Widodo. Prof. Singgih, yang terlibat sebagai editor, menyatakan progresnya telah mencapai 80 persen. Proses revisi bersifat terbuka, menerima masukan dari berbagai pihak.
"Kita membuka ruang masukan seluas-luasnya, baik dari akademisi, masyarakat umum, maupun pihak-pihak terkait," ujarnya. Masukan tersebut akan dikaji dan diintegrasikan ke dalam narasi sejarah. Sosialisasi publik juga akan dilakukan di berbagai universitas.
Revisi ini menekankan pengayaan substansi dan metodologi, menggali temuan baru dan sumber lisan. "Kita ingin sejarah ini lebih objektif, lebih Indonesia-sentris, tapi tetap memiliki perspektif global," tutur Prof. Singgih. Narasi dirancang otonom, bebas dari bias kolonial dan kepentingan politik praktis. Isu sensitif seperti tragedi 1965 dan Reformasi 1998 akan diakomodasi, berbasis bukti dan sumber sejarah yang kredibel.
"Suara korban tetap kita dengarkan. Tidak ada yang ditutup-tutupi, tapi semua harus berbasis sumber Sejarah yang otentik dan kredibel," tegasnya. Proyek ini diklaim murni untuk kepentingan bangsa, bukan propaganda, dan menerima adanya versi sejarah alternatif.
"Kita tidak sedang menciptakan sejarah tunggal. Ini sejarah kebangsaan yang ditulis dengan pespektif kebangsaan yang menarasikan perjalanan bangsa Indonesia sejak awal hingga masa kontemporer, sehingga bisa memupuk kesadaran siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan mau kemana arah perjalanan kita sebagai sebuah komunitas bangsa, yang dalam Bahasa Jawa disebut sebagai ‘sangkan paraning dumadi’. Tentu kita tetap dengan senang hati membuka ruang dari berbagai pihak untuk penulisan Sejarah dengan perspektif yang lain,” katanya.
Hasil revisi diharapkan menjadi rujukan utama buku teks sekolah, namun dengan adaptasi sesuai usia peserta didik. "Untuk anak SD dan SMP, fokusnya pada pewarisan nilai kebangsaan. Sementara di tingkat SMA, di samping sebagai Pendidikan moral, pendidikan sejarah harus jadi intellectual training atau latihan berpikir kritis, bukan indoktrinasi," jelasnya. Perspektif global akan ditonjolkan, misalnya peristiwa 1965 dalam konteks Perang Dingin.
"Kita ingin sejarah tidak berhenti jadi hafalan, tapi menjadi cermin dan pelajaran untuk masa kini dan masa depan yang lebih gemilang,” pungkas Singgih.