Tanah Laut (22/5) – Asap membumbung dari tungku arang, percikan api menyala saat palu godam menghantam besi panas. Begitulah pemandangan sehari-hari di bengkel sederhana milik Jantera (82), seorang pandai besi legendaris di Desa Gunung Makmur, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Jantera, warga LDII Tanah Laut, telah menekuni profesi ini sejak tahun 1993. Kini, bersama putranya Ruspandi (45), ia tetap setia membentuk sabit, parang, dan alat turih pohon karet bagi masyarakat sekitar. “Alhamdulillah, melalui pekerjaan ini kami dapat menghidupi keluarga sampai saat ini. Setiap hari hampir selalu ada warga yang pesan dibuatkan sabit, parang, dan alat turih pohon karet,” ujar Jantera.
Produk hasil tangan Jantera dikenal luas akan kualitas dan ketahanannya. Seorang pelanggan menyatakan bahwa sabit dan parang buatan Jantera lebih tajam dan awet dibandingkan produk pasaran yang cepat tumpul. Tidak heran jika banyak warga lebih memilih produk lokal ini ketimbang barang pabrikan.
Proses pembuatannya pun penuh keterampilan: dari memanaskan besi tua hingga membara, menempa dengan palu besar di atas landasan besi, hingga pengasahan yang presisi untuk mencapai ketajaman maksimal. Meski tampak sederhana, pekerjaan ini menuntut kekuatan fisik dan ketelitian tinggi.
Kini, tongkat estafet keahlian telah berpindah ke tangan Ruspandi. Sejak remaja, ia sudah akrab dengan bara dan palu. “Awalnya coba-coba membantu pekerjaan orang tua, lama-lama jadi senang sampai sekarang. Alhamdulillah hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” kata Ruspandi.
Meski sang ayah kini jarang ikut bekerja karena faktor usia, kehadirannya di bengkel tetap menjadi semangat tersendiri. “Karena ayah saya karena sudah lanjut usia, paling hanya sekali-kali saja mengerjakan pesanan pelanggan. Selebihnya saya yang menyelesaikan semuanya. Tapi ayah selalu menemani di bengkel pandai besi, meskipun hanya bekerja semampunya saja,” lanjutnya.
Tak hanya sabit dan parang, mereka juga kerap menerima pesanan alat pertanian lainnya seperti cangkul dan tajak. “Pokoknya asal bahan dari besi, semua bisa saya kerjakan. Yang penting upahnya cocok,” ujarnya sambil tertawa.
Lebih dari sekadar pekerjaan, bagi Jantera dan Ruspandi, menjadi pandai besi adalah warisan budaya sekaligus bentuk pelayanan kepada masyarakat. Hasil kerja mereka bukan hanya perkakas, melainkan juga simbol ketekunan dan ketulusan.