Bayangkan piala kemenangan berkilau diterpa sorot kamera, gemuruh tepuk tangan membelah udara. Anda berdiri di puncak, elang yang mengangkasa langit ambisi. Tapi, di antara hiruk pikuk itu, adakah bisikan lirih yang menusuk relung hening? Bisikan tentang sepasang mata keriput yang berkaca-kaca, tangan kapalan yang tak henti berdoa, dan senyum yang mekar meski digerogoti tahun. Bisikan yang bertanya, "Di balik gemerlap sukesmu, mana yang lebih terang, sinar piala ataukah rembulan kasih orang tuamu?"
Pernahkah Anda mendengar kisah tentang seorang anak yang sukses menjadi seorang dokter, tapi tak pernah menjenguk orang tuanya yang sakit? Atau, seorang anak yang sukses menjadi seorang pengusaha, tapi tak pernah memberikan uang kepada orang tuanya yang miskin?
Kisah-kisah seperti ini mungkin terdengar biasa saja, tapi sebenarnya sangat menyedihkan. Karena, kesuksesan mereka tak pernah benar-benar lengkap. Mereka mungkin telah meraih puncak tertinggi dalam karier mereka, tapi mereka telah kehilangan sesuatu yang lebih penting, yaitu cinta dan bakti kepada orang tua.
Cinta dan bakti kepada orang tua adalah fondasi kesuksesan yang paling kokoh. Tanpa fondasi ini, kesuksesan kita akan mudah goyah dan rapuh. Karena, orang tua adalah orang-orang yang paling mencintai kita tanpa syarat. Merekalah yang telah berkorban tanpa lelah untuk kita, demi kebahagiaan kita.
Ingatlah, kesuksesan kita tak pernah berdiri sendiri. Ada jejak kaki orang tua di setiap langkah kita, ada doa mereka yang mengiringi tiap hela napas kita. Jadi, jangan biarkan panggung kesuksesanmu menjadi panggung kesia-siaan. Bawa mereka naik ke atas pentas, biarkan senyuman mereka menjadi sorotan terindah, dan jadikan piala kemenanganmu persembahan terindah untuk mereka yang telah memberimu segalanya.
Kita mengejar sukses sebagai mantra pemikat, seolah segala-galanya bermuara pada capaian, popularitas, dan harta. Tapi, benarkah definisi sukses sekaku? Atau, adakah kompas lain, tersembunyi di balik bayang-bayang piala emas?
Kita lahir di pelukan kasih sayang orang tua. Tangan mereka yang menggendong, pelukan mereka yang menenangkan, suara mereka yang membisikkan doa - itulah fondasi kesuksesan pertama kita. Jerih payah mereka, keringat yang mengalir tanpa henti, hanya semata untuk membuahkan senyum di bibir kita, agar hidup kita tak diintip duka.
Lalu, di pentas kehormatan, apakah kita masih ingat tangan-tangan yang dulu mengantar langkah kita? Apakah suara mereka yang menjadi lagu pengiring masih terngiang di antara gemuruh panggung? Atau, bayangan mereka telah sirna, tertelan pusaran ambisi dan kemenangan?
Kesuksesan sejati bukanlah piala, bukan angka di rekening bank. Kesuksesan sejati adalah ketika kebahagiaan kita tak sekadar milik sendiri, tapi juga milik mereka yang telah berkorban untuk kita, terutama orang tua. Kesuksesan sejati adalah ketika piala yang kita angkat diiringi bukan hanya sorak sorai, tapi juga tatapan mata bangga dan tangan-tangan keriput yang gemetar meraba wajah kita.
Menggapai sukses memang penting. Tapi, jangan sampai di tengah huru-hara kemenangan, kita lupa jejak kaki mereka di setiap langkah kita, lupa doa mereka yang menjadi napas kita.
Jadi, jangan biarkan panggung sukesmu menjadi panggung kesia-siaan. Bawa mereka naik ke atas pentas, biarkan senyuman mereka menjadi sorotan terindah, dan jadikan piala kemenanganmu persembahan terindah untuk mereka yang telah memberimu segalanya.
Karena pada akhirnya, kesuksesan tanpa cinta dan bakti kepada orang tua hanyalah semu. Panggung tanpa penonton, piala tanpa makna. Dan, panggung kehidupan yang sejati tak diukur dari tepuk tangan, tapi dari kehangatan pelukan mereka yang setia mengiringi kita hingga ujung jalan.
Mari kita pastikan, sinar piala tak pernah melunturkan rembulan kasih orang tua. Biarkan keduanya bersinar terang, melengkapi langit kesuksesan kita yang sejati.