Webinar Kebangsaan LDII, Yudi Latif: Merdeka Jiwa, Kunci Demokrasi Indonesia


Demokrasi Indonesia tidak bisa ditiru dari negara lain, tapi harus disesuaikan dengan kondisi bangsa yang majemuk dan berkepribadian. Itu adalah pesan utama dari Prof. Yudi Latif, akademisi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang menjadi pembicara di Webinar Kebangsaan yang digelar DPP LDII, Jakarta (23/8).

Yudi mengatakan, visi kenegaraan Indonesia dimulai dari merdeka, baik secara budaya, politik, maupun ekonomi. Merdeka secara budaya berarti bangsa yang memiliki identitas dan karakter sendiri, tidak tergantung pada budaya asing. Merdeka secara politik berarti bangsa yang berdaulat, tidak dikendalikan oleh kekuatan luar. Merdeka secara ekonomi berarti bangsa yang mandiri, tidak bergantung pada bantuan atau pinjaman.

“Merdeka dalam budaya, politik, dan ekonomi. Merdeka secara budaya menjadikan bangsa berkepribadian, merdeka politik berarti bangsa yang berdaulat, belajar merdeka ekonomi, berarti menjadi bangsa mandiri. Dengan visi kemerdekaan itu, maka berpolitik menjadi enabler transformasi sosial,” kata Yudi.

Menurut Yudi, demokrasi bukan sekadar proses memilih pemimpin atau wakil rakyat, tapi lebih dari itu adalah proses memilih kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, demokrasi harus didasarkan pada justification of state, yaitu seluruh kebijakan yang dibuat pemerintah harus mendapat persetujuan dari rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Eksekusi kebijakan itu ditunjuk dengan diundi, agar tidak ada penggalangan kekuasaan untuk eksekutif dan itu hanya dibatasi setiap tahun,” ujar Yudi.

Yudi juga mengkritik adanya distorsi antara suara sipil dan pilihan politik yang sering terjadi di Indonesia. Ia menilai, hal itu disebabkan oleh kurangnya transformasi politik yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang majemuk dan memiliki pengalaman kebangsaan yang baru.

“Politik harus kongruen antara state building dan nation building, artinya segala macam tatanan kenegaraan harus sepadan dengan bangsa yang sudah eksis lama seperti Indonesia. Para pendiri bangsa sejatinya sudah sejak awal mengantisipasi demokrasi yang bisa berdiri dengan kemajemukan,” ujarnya.

Yudi mencontohkan, demokrasi di negara barat belum berhasil mengatasi masalah diversity, meskipun ekonomi politiknya bagus. Seperti di Amerika Serikat, India dan negara-negara Skandinavian misalnya, belum mampu menerima perbedaan sehingga masih ada konflik. Karena itu, demokrasi Indonesia tidak boleh hanya mempertimbangkan agregasi individu, kata Yudi.

“Jika itu terjadi, hanya akan banyak kelompok marjinal yang tertinggal. Indonesia perlu sistem yang bisa menampung individual right, komunitas, seperti demokrasi musyawarah,” jelasnya.

Yudi menegaskan, yang seharusnya perlu ada perwakilan adalah golongan marjinal secara ekonomi, gender, agama, etnis dan golongan strategis yang punya usaha besar pembentukan Indonesia seperti cendekiawan, ulama, dan tokoh adat. Perwakilan itu bukan hanya di lembaga pusat, tapi juga di lembaga daerah.

“Perwakilan golongan marjinal dan strategis itu penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan kepentingan di dalam negara,” katanya.

Selain itu, Yudi juga menyoroti masalah ekonomi pascakolonial yang masih dialami oleh Indonesia. Ia mengatakan, ekonomi Indonesia masih ditandai oleh dualisme antara ekonomi rakyat dan ekonomi penjajah. Karena itu, politik harus mentransformasikan ekonomi rakyat menjadi ekonomi yang berdaya saing dan berkeadilan.

“Demokrasi juga punya tugas mengatasi kesenjangan sosial, mendistribusikan sosial yang menumbuhkan. Upayanya dengan redistribusi keadilan secara harta dan opportunity menjadi akses yang bisa diberdayakan atau dimanfaatkan masyarakat. Negara harus membuat regulasi untuk mengatasi kesenjangan, redistribusi, afirmasi, untuk mengatasi kesenjangan,” ucap Yudi.

Yudi menambahkan, transformasi politik dan ekonomi yang dibutuhkan oleh Indonesia harus bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, tidak terus-menerus berubah. Ia mengkritik adanya jebakan jangka pendek yang sering terjadi di Indonesia, yaitu setiap pemerintahan berganti maka kebijakan juga berganti. Ia menyarankan agar ada haluan negara yang menjaga kelanjutan pembangunan.

“Intinya harus merdeka jiwa dulu, jangan takut berbeda dengan demokrasi di negara lain,” katanya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama