Idul Fitri di Tahun Politik, Ketum DPP LDII Ajak Reorientasi Nafsu Kekuasaan

Idul Fitri di Tahun Politik Ketum DPP LDII Ajak Reorientasi Nafsu Kekuasaan


Jakarta (17/4). Politik uang dan ketidakterwakilan rakyat adalah dua masalah besar dalam sistem demokrasi Indonesia. Politik uang dapat mempengaruhi hasil pemilihan, sehingga orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang yang banyak dapat memanipulasi pemilihan dan mengamankan kekuasaan mereka, sementara suara rakyat terabaikan. Meskipun terlambat, masih ada ruang untuk memperbaiki demokrasi, termasuk kemerosotan moral bangsa akibat politik uang.

Hal tersebut dinyatakan Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso saat menggelar silaturahim dengan para wartawan di Kantor DPP LDII, Jakarta, pada Senin (17/4), “Pada 1998, rakyat Indonesia melalui wakil rakyat telah membuat konsensus, bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Artinya baik atau buruk, kita tetap konsisten sambil terus memperbaikinya,” ujar KH Chriswanto Santoso.

Menurut KH Chriswanto, dalam demokrasi siapapun memiliki hak untuk berpolitik. Namun, di belakang hak selalu ada kewajiban, yakni bagaimana mengupayakan kesejahteraan rakyat di berbagai bidang, “Yang jadi soal, untuk mengejar popularitas dan memperoleh suara yang besar, para politisi tak segan untuk membayar. Meskipun berisiko dipidana,” tuturnya.

KH Chriswanto Santoso bahkan menyebut politik uang sebagai korupsi elektoral. Alasannya, ketika Pemilu yang seharusnya dilaksanakan dengan suasana yang sangat demokratis, jujur dan adil, seharusnya tidak mengenal politik uang, “Dalam atmosfer kompetisi seperti itu, peserta Pemilu seharusnya berkompetisi dengan fair dan objektif. Tidak mengandalkan uang, apalagi mengandalkan kekuasaan bagi petahana. Jadi benar-benar mempertaruhkan gagasan keindonesiaan,” tuturnya.

Meskipun terdapat sanksi penjara, denda, dan diskualifikasi, praktik politik uang tersebut selalu mewarnai Pemilu. Menurutnya, sanksi ternyata tidak membuat orang jera, bahkan tidak takut dosa, “Padahal Rasulullah melaknat mereka yang menyuap dan disuap. Laknat dari Rasulullah tentunya memberatkan di akhirat kelak,” ungkap KH Chriswanto Santoso yang juga pernah menjabat Wakil Ketua Golkar Jawa Timur itu.

Praktik korupsi elektoral inilah yang menurutnya menyumbang kemerosotan moral terbesar dalam pengelolaan negara, “Semua orang berpikir untuk menggunakan uang untuk menang. Sementara semua orang juga menganggap menjadi kepala daerah dan wakil rakyat adalah untuk mengakses sumberdaya yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran pribadi,” tegasnya.

Akibatnya korupsi merajalela. Antara eksekutif dan legislatif bisa saling sandera, karena memperebutkan akses ke sumberdaya untuk mengmbalikan modal. Lebih parah lagi, bisa ada campur tangan para pemilik modal untuk membantu pemenangan elit politik, “Ujungnya akan terjadi politik transaksional. Bahkan uang tersebut bisa digunakan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat,” tutur KH Chriswanto Santoso.

Imbas korupsi elektoral hampir menyentuh berbagai bidang kehidupan masyarakat. Mulai dari pebisnis hingga penjual asongan sekalipun. Pasalnya, kualitas pelayanan publik menjadi rendah. Karena kebijakan yang dihasilkan dalam bentuk peraturan, hanya menguntungkan sedikit orang.

Inilah yang menjadi cacat demokrasi itu, dan terjadi di berbagai belahan dunia. Untuk itu, KH Chriswanto Santoso mengajak segenap elemen bangsa, terutama para elit politik untuk menata ulang niat mereka dalam berkuasa, “Hal yang pertama dipikirkan adalah kesejahteraan rakyat dan membangun peradaban Indonesia,” ujarnya.

Untuk itu, calon eksekutif dan legislator harus selesai dengan dirinya sendiri. Tidak ada pamrih untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Sehingga ia benar-benar turun di tengah-tengah masyarakat, menyelami masalah anak bangsa, “Dengan demikian yang terjadi adalah keterwakilan bukan keterpilihan,” pungkasnya.


Upaya Perbaikan

Ketidakterwakilan rakyat juga menjadi masalah penting dalam sistem demokrasi. Keterwakilan rakyat yang baik sangat penting untuk memastikan bahwa kepentingan dan kebutuhan rakyat diwakili di tingkat pemerintahan. Namun, seringkali para politisi lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia, dibutuhkan upaya yang serius dan berkelanjutan dari semua pihak. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain meningkatkan pendidikan politik dan kesadaran rakyat tentang hak-hak politik mereka, mendorong partisipasi rakyat dalam proses politik, serta menguatkan lembaga-lembaga pengawasan dan kebijakan yang independen dan transparan.

Selain itu, penting juga untuk memperkuat peraturan dan hukum yang ada untuk memerangi politik uang dan tindakan korupsi, serta meningkatkan transparansi dalam pemilihan dan pengambilan keputusan politik. Hal ini dapat dilakukan melalui pengawasan dan pemantauan yang ketat dari lembaga-lembaga terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan lembaga-lembaga anti-korupsi.

Namun, perbaikan sistem demokrasi di Indonesia juga memerlukan perubahan budaya politik yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Para pemimpin dan politisi harus memprioritaskan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri. Selain itu, masyarakat juga perlu mendukung dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang sehat dan transparan, serta menolak tindakan korupsi dan politik uang.

Perbaikan sistem demokrasi di Indonesia memerlukan upaya yang serius dan berkelanjutan dari semua pihak. Kita harus bekerja sama untuk mengatasi politik uang dan ketidakterwakilan rakyat, dan membangun sistem demokrasi yang lebih sehat dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama