LDII - Sarasehan Pancasila

JAKARTA, (PRLM).- Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menggelar sarasehan Kebangsaan bertajuk "Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat" yang dihadiri 200 orang yang terdiri dari para mahasiswa dan ormas Islam.
Acara itu dihelat di Wisma Besar LDII di bilangan Patal Senayan, dengan pembicara Hajriyanto Tohari (Wakil Ketua MPR RI), DR. Yudi Latif (akademisi/Direktur Reform Institute), dan Budiarto Shambazy dari pers.
Menurut Ruly Bernaputra, Ketua Departemen Pemberdayaan Masyarakat DPP LDII sekaligus Ketua Panitia menyebut, LDII melakukan inisiatif diskusi ini untuk meneguhkan Pancasila sebagai falsafah negara, agar bangsa Indonesia melaksanakan kembali nilai-nilai Pancasila seutuhnya.
“Di tengah keterpurukan ekonomi dan moralitas bangsa, radikalisasi berbentuk terorisme menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila ditinggalkan. Penguasa tak lagi mengacu kepada distribusi kesejahteraan sementara masyarakat yang frustasi memilih menyalurkannya dalam kekerasan berbungkus agama,” ujar Ruly Bernaputra dalam rilisnya ke "PRLM", Sabtu (11/6).
Acara ini, menurut Ketua Umum DPP LDII, Prof. DR K.H. Abdullah Syam, M.Sc., menjadi semacam pencarian jalan keluar dan kepedulian LDII terhadap nasib bangsa. LDII meyakini bila bangsa Indonesia konsisten kepada Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, Indonesia mampu mewujudkan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan.
“Bagi empat pilar itu final, yang menjiwai dakwah LDII yang merujuk kepada dakwah Nabi Muhammad SAW, dakwah yang menyejukkan, saling toleran, dan jauh dari kekerasan,” kata Abdullah Syam.
Menurut Abdullah Syam, untuk menjalankan Islam tak perlu mendirikan negara Islam. Justru di tengah masyarakat yang Pancasilais, Islam dapat dilaksanakan dengan kaffah.
Sayangnya Pancasila saat ini sedang berada di lorong yang sunyi di tengah-tengah hiruk pikuk reformasi. Begitu keyakinan Hajriyanto Thohari, Wakil Ketua MPR RI menyebut lahirnya Pancasila adalah perekat keanekaragaman bahasa, suku, bahkan kepulauan yang besar dan terbagi dalam tiga zona waktu – yang mustahil hanya terdiri dari satu negara.
“Indonesia adalah negeri yang luar biasa. Namun orang-orang Indonesia menganggap biasa keindonesiaan ini. Orang tak bisa melihat secara obyektif kalau melihatnya terlalu dekat atau terlalu jauh,” ujar Hajriyanto Thohari. Bahkan kebijakan pemerintah kerapkali tak berpihak kepada rakyat.
Hajriyanto menyebut struktur APBN yang jumlahnya Rp 1.300 triliun 60 persennya hanya habis untuk anggaran trutin, sementara alokasi kepada pembangunan hanya 20 persen. "Sila kelima paling sial nasibnya. Salah satu contoh saja, pengalokasian APBD yang sebagian besar untuk belanja rutin, gaji pegawai, anggota dewan. Sementara, untuk rakyat ada yang cuma 10 persen. Bahkan ada yang cuma 5 persen," kata Hajrianto. (A-71/A-88)***
http://www.pikiran-rakyat.com/node/148239

إرسال تعليق

أحدث أقدم